A. Pendahuluan
Qunut, yang dalam sebutannya mengindikasikan pada salah satu doa dalam shalat, merupakan perihal agama yang sampai saat ini statusnya masih terus menjadi tema perdebatan oleh sebagian kaum muslimin. Kedudukannya dalam syariat Islam masih begitu rumit untuk ditempatkan secara pasti apakah masuk ke dalam koridor ajaran Islam atau tidak. Sebab sudah terlalu sering perihal qunut ini diulas, kemudian diperselisihkan hingga pada akhirnya berakibat pada terpecahnya kaum muslimin menjadi dua golongan besar yang berseberangan paham. Terlebih sifat ashabiyah (fanatik) terhadap salah satu pendapat juga seringkali muncul saat dihadapkan pada ulasan ini. Mengapa demikian? Sebab teramati hampir semua umat muslim di masa ini telah mengalami krisis multidimensional. Selain mengalami kemerosotan akhlak, umat saat ini telah nampak semakin surut semangatnya untuk terus belajar agama serta mengkaji lebih dalam akan keagungan dan keluasan syariat Allah, belum lagi tidak fair dalam menyikapi dalil-dalil (nash-nash) yang ada.
Artikel ini sengaja ditulis mengingat tidak sedikit dari kalangan kaum muslimin yang cenderung mempersoalkan persoalan cabang (furu’iyyah) dan mengabaikan persoalan prinsip (ushuliyyah) dalam Islam. Ini berakibat sangat fatal karena justru akan memperlemah persatuan dan persaudaraan sesama kaum muslimin dan cenderung berpecah-belah (mukhalafah). Bila hal ini terjadi, maka akan semakin mudah lagi bagi orang kafir untuk memperdaya dan menghancurkan kaum muslimin. Padahal bila dari diri umat Islam timbul kesadaran dan mau berkaca diri atas kesalahan yang sudah dilakukan, maka akan muncul pemikiran bahwa permasalahan qunut ini tidak perlu terus-menerus diusut, yang justru dipikirkan ialah bagaimana mempersatukan kaum muslimin walaupun berbeda pemahaman.
Bila kita melihat kembali pada perjalanan sejarah umat Islam, ditemukan bahwa salah satu faktor kehancuran Daulah Islamiyyah, seperti halnya di Cordova (Bani Umayyah di Andalusia) ialah sering terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam disana. Perbedaan pendapat (ikhtilaf fil furu’) ini sering terjadi di tengah-tengah mereka. Berawal dari perbedaan pendapat inilah pada akhirnya mengesampingkan persoalan pokok yang justru lebih penting, yaitu jihad fii sabilillah dan mempertahankan persatuan dan kesatuan kaum muslimin di seluruh dunia dalam naungan daulah khilafah yang saat ini sirna, sehingga dengan mudah diserang oleh musuh.
Namun sebelum diulas lebih lanjut, perlu disampaikan bahwa tulisan ini sepenuhnya tidak bersumber dari pemikiran saya sendiri, namun mengambil intisari (atau dalam istilah lainnya disebut dengan ringkasan) dari buku yang berjudul “Qunut Antara Pro dan Kontra” Karya KH. M. Ihya’ Ulumiddin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain Pujon Malang. Dalam buku tersebut, beliau menulis dengan gaya bahasa sekaligus cara penyampaiannya yang santun dan lugas, sehingga menimbulkan ketertarikan tersendiri bagi saya pribadi. Selain itu, penulisan artikel ini sama sekali bukan bermaksud untuk menyudutkan ataupun memihak pada salah satu golongan. Namun berangkat dari artikel inilah kita mencoba bersama-sama untuk belajar, mengkaji, dan berusaha menyampaikannya secara apa adanya berdasarkan fakta tertulis yang tertuang dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw.
Dengan dasar kerisauan yang tinggi akan masa depan kaum muslimin inilah, saya merasa berkewajiban untuk memaparkannya kembali melalui artikel ini. Dan tentu harapannya, perbedaan pendapat (khilafiyah furu’iyyah) ini jangan menjadikan faktor penghalang bersatunya kaum muslimin. Perbedaan ini justru kita tempatkan pada proporsi yang tepat, yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam serta menjadi nilai positif tersendiri bahwa ajaran Islam sangat luas, fleksibel tapi konsisten, mengikat dan tegas namun tidak mempersulit. Maka dari itu kaum muslimin seharusnya senantiasa membuka diri dengan terus menggali cakrawala pemikiran yang tidak lepas dari dasar ilmu dan wawasan keislaman yang benar sehingga dapat memberikan sebuah solusi maupun toleransi dalam masalah furu’iyyah demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin. Dan terakhir, semoga jasa hasil tulisan dan ilmu beliau mendapatkan balasan yang tiada akhir oleh Allah swt di yaumil qiyamah. Amin.
B. Definisi dan Sejarah Kronologis Qunut
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), qunut berasal dari kata-kata berikut:
- Taat, sebagaimana ayat, “Dan laki-laki yang taat dan perempuan yang taat” (QS. Al-Ahzab: 35).
- Berdiri lama dalam shalat, sesuai dengan hadits, “Seutama-utama shalat adalah yang lama berdirinya” (HR. Muslim dalam kitab Shahih Musllim Jilid I hlm. 336).
- Diam, sebagaimana ayat, “Berdirilah karena Allah dengan diam” (QS. Al-Baqarah: 238).
- Doa, baik berdoa untuk kebaikan maupun berdoa untuk keburukan (Lihat Al-Majmu’ III/502)
Sedangkan dari segi istilah (terminologi), qunut adalah: suatu dzikir tertentu yang mencakup doa dan syiir/pujian. Seperti ucapan, “Ya Allah, berilah pengampunan kepadaku, wahai Dzat yang Maha Pengampun” (Lihat An-Nafahatush Shamadiyah hlm. 107). Lebih khusus, qunut adalah berdoa di tempat tertentu sewaktu berdiri di dalam shalat (lihat Syarh Az-Zarqani Jilid I hlm. 322).
Adapun sejarah qunut, bermula dari peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Kabilah Ri’il, Dzakwan, dan Kabilah Ushayyah (semuanya berasal dari Bani Salim) terhadap tujuh puluh Al-Qurra’(duta dakwah) dari kalangan Ahlus Shuffah yang saat itu dikirim oleh Rasulullah saw. Pengiriman ini atas dasar permintaan mereka sendiri kepada Nabi ketika datang ke Madinah untuk menyatakan masuk Islam. Pengiriman mereka pada awalnya bermaksud agar kaum musyrikin dari kalangan bangsa Najd mau menerima ajaran Islam.
Akan tetapi misi mereka hanyalah tipu muslihat belaka untuk menghentikan dakwah Nabi. Sebab di tengah perjalanan, mereka membantai 70 Al-Qurra’ di tempat yang bernama Bi’ru Ma’unah. Diantara 70 Al-Qurra’ yang dibantai, hanya satu yang selamat, yaitu Ka’ab bin Zaid al-Anshari. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun keempat hijriyah.
Mendengar cerita peristiwa tersebut, beliaupun akhirnya murka dan pada saat shalat lima waktu, di tiap-tiap rakaat akhir beliau selalu berdoa yang intinya ialah beliau mengutuk mereka (di dalam riwayat Anas beliau hanya berdoa di akhir shalat maghrib dan shubuh saja) selama satu bulan berturut-turut. Peristiwa inilah sebagai awal mula disyariatkannya Qunut. Oleh sebagian kaum muslimin berpendapat qunut ini lazim disebut qunut nazilah. (Lihat Bidayatul Mujtahid Jilid I/103, Fiqhus Sunnah I/167), dan Hasyiah Sindi I/178).
C. Dalil Ketetapan (Itsbat) Qunut
Mengenai dalil yang menunjukkan ketetapan (itsbat) akan keberadaan qunut antara lain:
Dari Muhammad, ia berkata, “Anas ditanya, apakah Nabi saw. melakukan qunut?” Ia menjawab, “Iya”. (HR. Bukhari I: 177).
Dari Al-Bara’, sesungguhnya Nabi saw. melakukan qunut di dalam shalat shubuh. (HR. Abu Dawud II: 337).
Dari Al-Baro’ bin Azib, sesungguhnya Nabi saw. melakukan qunut di dalam shalat shubuh dan shalat maghrib. (HR. Tirmidzi I: 249).
Dari Anas r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. senantiasa melakukan qunut Shubuh hingga beliau wafat”. (HR. Abdurrazaq, Ad-Daraquthni, dan Al-Hakim, dalam kitab Bulughul Maram: 326, dan Aunul Ma’bud IV: 320)
Dari Anas r.a., ia berkata: “Adalah qunut itu dilakukan di dalam shalat maghrib dan Shubuh”. (HR. Bukhari I: 178, dan Aunul Bari’ II: 106).
Dari Said bin Thariq, aku bertanya kepada ayahku, “ Wahai Ayah, sesungguhnya engkau telah melaksanakan shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, maka apakah mereka melakukan qunut shubuh?”. Ayahku menjawab, “Wahai putraku, karena itu ceritakanlah”. (HR. Nasa’i dan Tirmidzi, dalam Majmu’ III: 504).
Dari hadits-hadits di atas, maka Imam Asy-Syafi’i dalam Al –Majmu’ III: 502 memberi penegasan adanya qunut dalam shalat, walaupun ada hadits tentang “meniadakan qunut” – yang insya Allah akan diulas pada bagian peniadaan (nafi) qunut –, beliau masih belum memastikan atau menjamin tidak bolehnya melakukan qunut, terutama dalam shalat shubuh.
D. Dalil Peniadaan (Nafi) Qunut
Selanjutnya, ada beberapa riwayat menyebutkan peniadaan (nafi) qunut. Hal tersebut terdapat pada beberapa hadits berikut ini:
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. melakukan qunut selama sebulan setelah ruku’ melaknat tokoh-tokoh Arab, kemudian beliau meninggalkannya”. (HR. Mukhari Muslim)
Dari Saad bin Thariq Al-Asyja’i r.a., aku berkata kepada ayahku, “ Wahai Ayah, sesungguhnya engkau telah melaksanakan shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, maka apakah mereka melakukan qunut shubuh?”. Ayahku menjawab, “Wahai putraku, itu adalah perkara baru (muhdats)”. (HR. Al-Khamsah kecuali Abu Dawud, dalam Al-Majmu’ III: 504, Bulughul Maram: 74, Zaadul Ma’ad I: 69, dan Misykatul Mashabih I: 403)
Thariq Al-Asyja’i kepada putranya: Aku shalat di belakang Rasulullah saw, maka beliau tidak qunut. Aku juga shalat di belakang Abu Bakar, beliaupun tidak qunut. Aku juga shalat di belakang Umar, beliaupun tidak qunut. Aku juga shalat di belakang Utsman, beliaupun tidak qunut. Aku juga shalat di belakang Ali, beliaupun tidak qunut. Kemudian ia berkata, “Wahai putraku, sesungguhnya qunut adalah perkara bid’ah”. (HR. Nasa’i, dalam Tuhfatul Ahwadzi II: 436).
Dari Anas bin Malik r.a., sesungguhnya Nabi saw. tidak melakukan qunut kecuali bila mendoakan kebaikan atau keburukan atas suatu kaum. (HR. Ibnu Khuzaimah, dalam Sulubussalam I: 150)
Dari Saad bin Zubair, ia berkata, “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya aku mendengar Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya qunut pada shalat shubuh adalah bid’ah”. (HR. Daraquthni, dalam Zaadul Ma’ad I: 69)
Dari Abu Makhlad, aku shalat shubuh bersama Ibnu Umar, maka beliau tidak qunut. Aku pun bertanya, “Aku tidak melihat tuan qunut”. Beliau menjawab, “Aku tidak meriwayatkannya salah satu pun dari sahabat-sahabat kami”. (HR. Al-Baihaqi, dalam Zaadul Ma’ad I: 69)
Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. tidak pernah qunut dalam shalat beliau”. (HR. Al-Baihaqi, dalam Al-Majmu’ III: 505)
Dari Ummu Salamah r.ha., sesungguhnya Nabi saw. melarang qunut dalam (shalat) shubuh”. (HR. Al-Baihaqi, dalam Al-majmu’ III: 504)
Dari beberapa hadits di atas, maka lebih lanjut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan ulama’-ulama’ yang sepandangan dengan beliau berpendapat bahwa qunut adalah perkara baru (muhdats) dan identik dengan perbuatan bid’ah yang terlarang.
E. Pencarian Titik Temu
Cukup rumit dalam mencari penyelesaian dan titik temu tentang permasalahan qunut ini, karena masing-masing pihak memiliki dasar yang sama-sama kuat dan sulit terbantahkan. Bagi kelompok yang kontra qunut, mereka berlandaskan pada argumen bahwa hadits yang dijadikan pegangan disyariatkan qunut tidak memenuhi syarat-syarat yang sah untuk dipakai hujjah. Seperti contoh hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. berikut ini:
Dari Anas bin Malik r.a., sesungguhnya Nabi saw. melakukan qunut selama sebulan untuk mendoakan jelek kepada pembunuh-pembunuh sahabatnya di Bi’ru Maunah, kemudian beliau meninggalkannya. Adapun shalat shubuh beliau tidak meninggalkan qunut sampai meninggal dunia. (HR. Daraquthni, Abdurrazzaq, Abu Mu’a’m, Baihaqi, dan Hakim, dalam Shahih Tuhfatul Ahwadzi II: 433)
Di dalam sanad hadits ini terdapat Abu Ja’far Arrazy. Walaupun oleh sebagian ulama dianggap tsiqah, namun ada pula yang berpendapat bahwa ia memiliki kelemahan, seperti tidak kuat hafalan, kacau hafalannya, banyak bimbang, jelek hafalannya, dan pernah berbuat salah. Beberapa kelemahan ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, seperti Ali Al-Madini, Abu Zur’ah, Amr bin Ali Fallah, Ibnu Ma’in, dan Ad Duwary. Dari penuturan beberapa tokoh ini, maka hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik menjadi tidak shahih (baca: tidak murni) lagi. Coba bandingkan dengan hadits yang lain yang juga diriwayatkan oleh Anas bin Malik berikut:
Kami bertanya kepada Anas, bahwa sesungguhnya suatu kaum berpandangan Nabi saw. senantiasa melakukan qunut shubuh. Anas menjawab, “Mereka berdusta (tidak benar), beliau hanya melakukan qunut sebulan mendoakan jelek kabilah dari kabilah-kabilah orang-orang musyrik”. (Tuhfatul Ahwadzi II: 433).
Juga dikuatkan oleh riwayat Ibnu Khuzaimah sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik r.a., sesungguhnya Nabi saw. tidak melakukan qunut kecuali bila mendoakan kebaikan atau mendoakan keburukan atas suatu kaum. (Subulussalam I: 150).
Sehingga dari sini, pihak yang kontra qunut berkesimpulan, riwayat-riwayat yang menetapkan qunut (itsbaatul qunut) tidak bisa dijadikan pegangan karena sudah tidak shahih dan murni lagi, dan terkesan kacau lantaran dibantah oleh riwayat-riwayat yang meniadakan qunut (nafi qunut) yang lebih rajih (kuat). Akhirnya mereka berpendapat bahwa qunut hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja (nazilah).
Selanjutnya kelompok yang setuju atas disyariatkannya qunut (pro qunut) berpendapat, hadits yang diriwayatkan oleh Saad bin Thariq – yang sudah disebutkan di atas – dan hadits-hadits lain yang menunjukkan ketetapan qunut (Itsbaatul Qunut) menggambarkan tambahan ilmu (ziyadah ‘ilmu) dan riwayat tersebut lebih banyak daripada yang menunjukkan peniadaan qunut (Nafi Qunut).
Oleh karena itu lebih lanjut Imam An-Nawawi menegaskan bahwa hadits Itsbaatul qunut wajib lebih didahulukan. Dalam hal ini hadits Ibnu Mas’ud menunjukkan Nafiul qunut, sedangkan hadits Anas bin Malik menunjukkan Itsbaatul qunut, maka hadits Anas lah yang lebih didahulukan. Dalam kaidah ushul disebutkan: Idzaa ta’aaradha al-itsbaatu wannafyu quddima al-itsbaatu (Jika itsbat dan nafi bertentangan, maka itsbat lebih didahulukan).
Imam Asy-Syaukani menyebutkan bahwasanya Al-Hafidz Al-Iraqi menceritakan qunut dari sahabat Abu Bakar, Umar, Ali, dan Ibnu Abbas, ia berkata: Perihal qunut dari mereka benar-benar shahih. Beliau menambahkan: Jika itsbat dan nafi bertentangan, maka itsbat lebih didahulukan (Nailul Authar II: 385).
Imam Al-Hamdani berkata: Hadits-hadits kami menunjukkan itsbaatul qunut dan hadits-hadits mereka menunjukkan nafiul qunut, sedangkan itsbat harus lebih didahulukan daripada nafi karena asal mulanya adalah tiadanya qunut, atau hadits-hadits kami lebih memberi tambahan hukum karena telah menetapkan qunut. Jadi lebih utama. (Al-I’tibar , hlm. 97).
Dan bahkan, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauzi berkata: Hadits-hadits riwayat Anas semuanya shahih. Antara satu dengan yang lainnya saling membenarkand an tidak bertentangan. Adapun qunut yang disebutkan sebelum ruku’ sebenarnya berbeda dengan yang disebutkan setelah ruku’. Begitu pula qunut yang waktunya dibatasi berbeda dengan qunut yang waktunua tidak dibatasi. Qunut yang disebut oleh sahabat Anas sebelum ruku’ bermakna berdiri lama untuk qira’ah (bacaan dalam shalat), sedang yang disebut setelah ruku’ bermakna berdiri lama untuk berdoa. Qunut ini dilakukan Rasulullah saw. selama sebulan tujuannya mendoakan kebaikan untuk suatu kaum dan mendoakan keburukan atas kaum yang lain. Hal itu berlangsung lama sampai kemudian berlanjut menjadi doa dan pujian hingga beliau meninggal dunia. Sedangkan beliau tinggalkan adalah qunut untuk mendoakan buruk atas kaum-kaum bangsa Arab, dan demikian itu dilakukan beliau setelah ruku’. (Zaadul Ma’ad I: 72-73).
Lain lagi dengan hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud berikut:
Rasulullah saw. tidak pernah melakukan qunut sama sekali dalam shalatnya. (HR. Baihaqi)
Hadits diatas sangat lemah, karena di dalamnya terdapat Muhammad bin Jabir As-Sahmi. Ia sangat dhaif dan bahkan matruk (ditinggalkan haditsnya). Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, sangat dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Abu Laila Al-Kufi. Lebih lanjut Imam Al-baihaqi berkata: Hadits ini tidak shahih. Abu Laila Al-Kufi matruk, dan kami sendiri meriwayatkan hadits: Sesungguhnya Nabi saw. berqunut. Begitu pula hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah r.ha, juga dhaif. Hadits ini bersanadkan Muhammad bin Ya’la dari Anbasah bin Abdurrahman dari Abdullah bin Nafi dari ayahnya Nafi dari Ummu Salamah r.ha. Imam Ad-Daraquthni berkata: Ketiga perawi itu dhaif. Tidaklah shahih bila nafi mendengar dari Ummu Salamah. (Lihat Al-Majmu’ III: 505).
Sementara haditsnya Ibnu Umar yang mengatakan: Aku tidak menghafal (riwayat) qunut dari satupun sahabat kami. Ucapan Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa beliau tidak menghafalnya atau beliau lupa akan qunut shubuh. Di samping Ibnu Umar, ternyata sahabat Anas, Al-Bara’ bin Azib, dan yang lainnya tidak lupa. Maka selayaknya yang tidak lupa didahulukan (Lihat Al-Majmu’ III: 505).
Kembali pada fokus hadits yang diriwayatkan Saad bin Thariq di atas, baik yang pro maupun yang kontra qunut. Dapat diperhatikan dalam hadits tersebut terdapat perbedaan matan. Satu matan menyebutkan, “Ay bunayya muhdatsun” (puteraku, qunut adalah perkara baru), dan yang lain menyebutkan, “ Ay bunayya fahaddats” (puteraku, maka ceritakanlah perkara qunut ini). Para ulama mazhab menanggapi hadits ini secara berlainan. Imam Abu Hanifah mengambil yang pertama, sedangkan Imam Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawi mengambil matan yang kedua.
Dalam usaha memadukan dua pendapat ini, ada sebuah cerita, suatu ketika Imam Asy-Syafi’i (yang pro qunut) menjadi Imam shalat shubuh di sebuah masjid yang mayoritas masyarakatnya mengikuti mazhab Imam Abu Hanifah yang kontra qunut, beliau tidak berqunut, padahal qunut adalah hasil ijtihad beliau (Lihat Ar-Risalah Al-Islamiyyah hlm. 47 dan Mauqiful Ikhtilafi hlm. 113).
F. Upaya Jalan Tengah
Ulasan tentang beberapa argumen di atas cukup menggambarkan secara jelas dan terperinci perihal qunut tersebut, yang masing-masing mempunyai pendapat yang mampu dipertanggungjawabkan di atas landasan syariat yang benar meski bertolakbelakang. Untuk menanggapinya, ada beberapa ulama yang tidak terlalu memihak terhadap salah satu kelompok yang senantiasa berusaha untuk mencari jalan tengah, yaitu dengan jalan pemaduan (jama’) sebelum menyatakan bahwa kedudukannya saling bertentangan dalam hakikatnya.
Ulama-ulama tersebut salah satunya ialah, seperti Imam An-Shan’ani. Beliau berpendapat, dari sini terdapat petunjuk yang dilakukan oleh para sahabat bahwa praktik mengenai qunut ini diamalkan oleh sebagian dari mereka pada saat yang lain meninggalkannya. Begitu pula pendapat yang diutarakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata, “Perihal qunut tidaklah mengherankanku (laa yu’jibuni) ”. Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Aku tidak bersikap keras terhadap orang yang qunut (laa a’tu man yaqnutu)”. (Al-Inshaf II: 174).
Berangkat dari pertentangan terhadap dalil qunut tersebut, Syaikh Ad-Dahlawi berkata:
“Menurutku, qunut dan tidak qunut sama saja”. (Hujjatullah Al-Balighah II: 11).
Dengan adanya hadits-hadits qunut yang kontradiktif di atas, maka sebagian ulama berpendapat: “Bisa jadi nafi qunut memberikan petunjuk bahwa qunut hukumnya jawaz (mubah), tidak sampai ke tingkat sunnah ataupun haram”. (Lihat Sulubussalam I: 150).
Ada pula golongan yang berpendapat bahwa mengerjakan qunut adalah sunnah, begitu pun meninggalkan qunut juga sunnah. Orang yang konsisten melakukan qunut di setiap shalat shubuh tidaklah bid’ah dan tidak pula menentang sunnah. Demikian pula orang yang meninggalkan qunut tidak dapat dikatakan bid’ah dan menentang sunnah. Bagi mereka, melakukan qunut dan meninggalkannya sama-sama baik. (Zaadul Ma’ad I: 70).
Sekedar menambahkan, beberapa sahabat dan tabi’in yang tidak melakukan qunut shubuh antara lain Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka semua berpendapat, “Tidak ada qunut shubuh”. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan dalam pendapatnya bahwa yang boleh melakukan qunut adalah khalifah.
Sebaiknya, beberapa sahabat dan tabi’in yang melakukan qunut shubuh antara lain Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, semuanya termasuk Khulafaur Rasyidin. Selain mereka, ada pula para sahabat yang lain seperti Ammar bin Yasir, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Al-Bara’, Anas bin Malik, Mu’adz bin Harits Al-Anshari, Khalaf bin Imaa’ bin Rahadlah, Ahban bin Shaifi, Sahal bin Sa’ad As-Sa’idi, Arfajah bin Syuraih, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Aisyah. Di kalangan tabi’in ada Sa’id bin Musayyib, Hasan bin Al-Hasan, Muhammad bin Sirin, Rabi’ bin Khaitsam, Aban bin Utsman, Qatadah, Thawus, Ubaid bin Umair, Ayyub As-Salmani, Urwah bin Zubair, Ziyad bin Utsman, Abdurrahman bin Abu Laila, Umar bin Abdul Aziz, dan Humaid Ath-Thawil. Terakhir, dari kalangan fiqih ada Abu Ishaq, Abu Bakar bin Muhammad, Hakam bin Utaibah, Hammad, Malik bin Anas, Auza’i, Ulama Hijaz, mayoritas Ulama Syam, Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya, dan lain-lain. Mereka semuanya berpendapat, “Sunnah melakukan qunut Shubuh”. (Tuhfatul Ahwadzi I: 432).
Perbedaan ini berlanjut hingga generasi khalaf (kontemporer) yang akhirnya datang ke Indonesia diikuti oleh dua organisasi besar, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang masing-masing memegang pada salah satu pendapat di atas.
G. Kesimpulan
Masalah qunut sudah menjadi ikhtilaf semenjak masa sahabat, tabi’in, sampai kepada masa mazhab empat. Mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pro qunut dan kelompok kontra qunut. Adanya dua kubu/kelompok di atas justru merupakan cerminan dinamika umat yang dapat memperkaya khazanah ilmu agama, sehingga perbedaan pendapat yang bersifat khilafiyah furu’iyyah masih dianggap wajar selama tidak masuk pada ranah aqidah. Bahkan keberadaan ikhtilaf ini merupakan rahmat bagi umat. Rasulullah saw. telah bersabda:
“Ikhtilaf (perbedaan pendapat) umatku merupakan rahmat”. (HR Ibnu Al-Hajib dan Al-Khaththabi).
Sebagaimana kisah Imam Asy-Syafi’i saat menjadi imam shalat shubuh di atas, dapat dilihat bagaimana para mujtahid terdahulu menghargai mendapat mujtahid lainnya sekalipun bertentangan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih:
“Al-Ijtihaadu laa yunqadhu bi al-ijtihaadi” (Suatu ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lainnya.
Oleh karena itu, dalam menyikapi ikhtilaf seharusnya tidak jumud (kaku) dan eksklusif (tertutup) dan mengklaim pendapat sendiri yang benar. Perbedaan seperti ini justru jadikan antara umat satu dengan umat yang lain saling bertasamuh, ta’awun, dan mahabbah dalam lingkaran ukhuwah islamiyah semata-mata mengharapkan ridha Allah. Silakan masing-masing beramal pada pendapatnya sesuai dengan hujjahnya sendiri, dalam arti tidak perlu memperuncing persoalan ini dan menjadikannya sebagai jalan untuk bermukhalafah (berpecah belah) di kalangan kaum muslimin. Sebab bermukhalafah, saling mengejek, menghina, menyalahkan, membid’ahkan, hingga memvonis saudara muslim sendiri agar masuk neraka adalah tindakan yang dapat mendatangkan murka Allah. Terlebih perbedaan pendapat mengenai qunut ini sudah terjadi semenjak periode empat belas abad silam.
Untuk itu, semua umat Islam, mulai dari kalangan tokoh-tokoh agama, ulama, hingga kalangan masyarakat muslim biasa, baik yang pro maupun yang kontra, hendaknya memaklumi situasi semacam ini dan jangan terlalu dipermasalahkan, malah justru diarahkan agar perbedaan ini dapat dijadikan wawasan baru sekaligus menyadarkan umat Islam bahwa ada persoalan yang lebih penting dan urgen, yakni persatuan umat.
Semoga ulasan tentang qunut ini menjadi tambahan ilmu, mampu bersikap fair dalam menerapkan ilmu, yang akan semakin mewarnai keragaman dalam satu bingkai kesatuan umat Islam di tengah-tengah pluralitas masyarakat Islami.
Wallaahu a’lamu bishawaab.