QUNUT DALAM SHALAT: ANTARA ANJURAN DAN LARANGAN

Ilustrasi Gerakan Shalat

Ilustrasi Gerakan Shalat

A.      Pendahuluan

Qunut, yang dalam sebutannya mengindikasikan pada salah satu doa dalam shalat, merupakan perihal agama yang sampai saat ini statusnya masih terus menjadi tema perdebatan oleh sebagian kaum muslimin. Kedudukannya dalam syariat Islam masih begitu rumit untuk ditempatkan secara pasti apakah masuk ke dalam koridor ajaran Islam atau tidak. Sebab sudah terlalu sering perihal qunut ini diulas, kemudian diperselisihkan hingga pada akhirnya berakibat pada terpecahnya kaum muslimin menjadi dua golongan besar yang berseberangan paham. Terlebih sifat ashabiyah (fanatik) terhadap salah satu pendapat juga seringkali muncul saat dihadapkan pada ulasan ini. Mengapa demikian? Sebab teramati hampir semua umat muslim di masa ini telah mengalami krisis multidimensional. Selain mengalami kemerosotan akhlak, umat saat ini telah nampak semakin surut semangatnya untuk terus belajar agama serta mengkaji lebih dalam akan keagungan dan keluasan syariat Allah, belum lagi tidak fair dalam menyikapi dalil-dalil (nash-nash) yang ada.

Artikel ini sengaja ditulis mengingat tidak sedikit dari kalangan kaum muslimin yang cenderung mempersoalkan persoalan cabang (furu’iyyah) dan mengabaikan persoalan prinsip (ushuliyyah) dalam Islam. Ini berakibat sangat fatal karena justru akan memperlemah persatuan dan persaudaraan sesama kaum muslimin dan cenderung berpecah-belah (mukhalafah). Bila hal ini terjadi, maka akan semakin mudah lagi bagi orang kafir untuk memperdaya dan menghancurkan kaum muslimin. Padahal bila dari diri umat Islam timbul kesadaran dan mau berkaca diri atas kesalahan yang sudah dilakukan, maka akan muncul pemikiran bahwa permasalahan qunut ini tidak perlu terus-menerus diusut, yang justru dipikirkan ialah bagaimana mempersatukan kaum muslimin walaupun berbeda pemahaman.

Bila kita melihat kembali pada perjalanan sejarah umat Islam, ditemukan bahwa salah satu faktor kehancuran Daulah Islamiyyah, seperti halnya di Cordova (Bani Umayyah di Andalusia) ialah sering terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam disana. Perbedaan pendapat (ikhtilaf fil furu’) ini sering terjadi di tengah-tengah mereka. Berawal dari perbedaan pendapat inilah pada akhirnya mengesampingkan persoalan pokok yang justru lebih penting, yaitu jihad fii sabilillah dan mempertahankan persatuan dan kesatuan kaum muslimin di seluruh dunia dalam naungan daulah khilafah yang saat ini sirna, sehingga dengan mudah diserang oleh musuh.

Namun sebelum diulas lebih lanjut, perlu disampaikan bahwa tulisan ini sepenuhnya tidak bersumber dari pemikiran saya sendiri, namun mengambil intisari (atau dalam istilah lainnya disebut dengan ringkasan) dari buku yang berjudul “Qunut Antara Pro dan Kontra” Karya KH. M. Ihya’ Ulumiddin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain Pujon Malang. Dalam buku tersebut, beliau menulis dengan gaya bahasa sekaligus cara penyampaiannya yang santun dan lugas, sehingga menimbulkan ketertarikan tersendiri bagi saya pribadi. Selain itu, penulisan artikel ini sama sekali bukan bermaksud untuk menyudutkan ataupun memihak pada salah satu golongan. Namun berangkat dari artikel inilah kita mencoba bersama-sama untuk belajar, mengkaji, dan berusaha menyampaikannya secara apa adanya berdasarkan fakta tertulis yang tertuang dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw.

Dengan dasar kerisauan yang tinggi akan masa depan kaum muslimin inilah, saya merasa berkewajiban untuk memaparkannya kembali melalui artikel ini. Dan tentu harapannya, perbedaan pendapat (khilafiyah furu’iyyah) ini jangan menjadikan faktor penghalang bersatunya kaum muslimin. Perbedaan ini justru kita tempatkan pada proporsi yang tepat, yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam serta menjadi nilai positif tersendiri bahwa ajaran Islam sangat luas, fleksibel tapi konsisten, mengikat dan tegas namun tidak mempersulit. Maka dari itu kaum muslimin seharusnya senantiasa membuka diri dengan terus menggali cakrawala pemikiran yang tidak lepas dari dasar ilmu dan wawasan keislaman yang benar sehingga dapat memberikan sebuah solusi maupun toleransi dalam masalah furu’iyyah demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin. Dan terakhir, semoga jasa hasil tulisan dan ilmu beliau mendapatkan balasan yang tiada akhir oleh Allah swt di yaumil qiyamah. Amin.

B.      Definisi dan Sejarah Kronologis Qunut

Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), qunut berasal dari kata-kata berikut:

  1. Taat, sebagaimana ayat, “Dan laki-laki yang taat dan perempuan yang taat” (QS. Al-Ahzab: 35).
  2. Berdiri lama dalam shalat, sesuai dengan hadits, “Seutama-utama shalat adalah yang lama berdirinya” (HR. Muslim dalam kitab Shahih Musllim Jilid I hlm. 336).
  3. Diam, sebagaimana ayat, “Berdirilah karena Allah dengan diam” (QS. Al-Baqarah: 238).
  4. Doa, baik berdoa untuk kebaikan maupun berdoa untuk keburukan (Lihat Al-Majmu’ III/502)

Sedangkan dari segi istilah (terminologi), qunut adalah: suatu dzikir tertentu yang mencakup doa dan syiir/pujian. Seperti ucapan, “Ya Allah, berilah pengampunan kepadaku, wahai Dzat yang Maha Pengampun” (Lihat An-Nafahatush Shamadiyah hlm. 107). Lebih khusus, qunut adalah berdoa di tempat tertentu sewaktu berdiri di dalam shalat (lihat Syarh Az-Zarqani Jilid I hlm. 322).

Adapun sejarah qunut, bermula dari peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Kabilah Ri’il, Dzakwan, dan Kabilah Ushayyah (semuanya berasal dari Bani Salim) terhadap tujuh puluh Al-Qurra’(duta dakwah) dari kalangan Ahlus Shuffah yang saat itu dikirim oleh Rasulullah saw. Pengiriman ini atas dasar permintaan mereka sendiri kepada Nabi ketika datang ke Madinah untuk menyatakan masuk Islam. Pengiriman mereka pada awalnya bermaksud agar kaum musyrikin dari kalangan bangsa Najd mau menerima ajaran Islam.

Akan tetapi misi mereka hanyalah tipu muslihat belaka untuk menghentikan dakwah Nabi. Sebab di tengah perjalanan, mereka membantai 70 Al-Qurra’ di tempat yang bernama Bi’ru Ma’unah. Diantara 70 Al-Qurra’ yang dibantai, hanya satu yang selamat, yaitu Ka’ab bin Zaid al-Anshari. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun keempat hijriyah.

Mendengar cerita peristiwa tersebut, beliaupun akhirnya murka dan pada saat shalat lima waktu, di tiap-tiap rakaat akhir beliau selalu berdoa yang intinya ialah beliau mengutuk mereka (di dalam riwayat Anas beliau hanya berdoa di akhir shalat maghrib dan shubuh saja) selama satu bulan berturut-turut. Peristiwa inilah sebagai awal mula disyariatkannya Qunut. Oleh sebagian kaum muslimin berpendapat qunut ini lazim disebut qunut nazilah. (Lihat Bidayatul Mujtahid Jilid I/103, Fiqhus Sunnah I/167), dan Hasyiah Sindi I/178).

C.      Dalil Ketetapan (Itsbat) Qunut

Mengenai dalil yang menunjukkan ketetapan (itsbat) akan keberadaan qunut antara lain:

Dari Muhammad, ia berkata, “Anas ditanya, apakah Nabi saw. melakukan qunut?” Ia menjawab, “Iya”. (HR. Bukhari I: 177).

Dari Al-Bara’, sesungguhnya Nabi saw. melakukan qunut di dalam shalat shubuh. (HR. Abu Dawud II: 337).

Dari Al-Baro’ bin Azib, sesungguhnya Nabi saw. melakukan qunut di dalam shalat shubuh dan shalat maghrib. (HR. Tirmidzi I: 249).

Dari Anas r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. senantiasa melakukan qunut Shubuh hingga beliau wafat”. (HR. Abdurrazaq, Ad-Daraquthni, dan Al-Hakim, dalam kitab Bulughul Maram: 326, dan Aunul Ma’bud IV: 320)

Dari Anas r.a., ia berkata: “Adalah qunut itu dilakukan di dalam shalat maghrib dan Shubuh”. (HR. Bukhari I: 178, dan Aunul Bari’ II: 106).

Dari Said bin Thariq, aku bertanya kepada ayahku, “ Wahai Ayah, sesungguhnya engkau telah melaksanakan shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, maka apakah mereka melakukan qunut shubuh?”. Ayahku menjawab, “Wahai putraku, karena itu ceritakanlah”. (HR. Nasa’i dan Tirmidzi, dalam Majmu’ III: 504).

Dari hadits-hadits di atas, maka Imam Asy-Syafi’i dalam Al –Majmu’ III:  502 memberi penegasan adanya qunut dalam shalat, walaupun ada hadits tentang “meniadakan qunut” – yang insya Allah akan diulas pada bagian peniadaan (nafi) qunut –, beliau masih belum memastikan atau menjamin tidak bolehnya melakukan qunut, terutama dalam shalat shubuh.

D.      Dalil Peniadaan (Nafi) Qunut

Selanjutnya, ada beberapa riwayat menyebutkan peniadaan (nafi) qunut. Hal tersebut terdapat pada beberapa hadits berikut ini:

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. melakukan qunut selama sebulan setelah ruku’ melaknat tokoh-tokoh Arab, kemudian beliau meninggalkannya”. (HR. Mukhari Muslim)

Dari Saad bin Thariq Al-Asyja’i r.a., aku berkata kepada ayahku, “ Wahai Ayah, sesungguhnya engkau telah melaksanakan shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, maka apakah mereka melakukan qunut shubuh?”. Ayahku menjawab, “Wahai putraku, itu adalah perkara baru (muhdats)”. (HR. Al-Khamsah kecuali Abu Dawud, dalam Al-Majmu’ III: 504, Bulughul Maram: 74, Zaadul Ma’ad I: 69, dan Misykatul Mashabih I: 403)

Thariq Al-Asyja’i kepada putranya: Aku shalat di belakang Rasulullah saw, maka beliau tidak qunut. Aku juga shalat di belakang Abu Bakar, beliaupun tidak qunut. Aku juga shalat di belakang Umar, beliaupun tidak qunut. Aku juga shalat di belakang Utsman, beliaupun tidak qunut. Aku juga shalat di belakang Ali, beliaupun tidak qunut. Kemudian ia berkata, “Wahai putraku, sesungguhnya qunut adalah perkara bid’ah”. (HR. Nasa’i, dalam Tuhfatul Ahwadzi II: 436).

Dari Anas bin Malik r.a., sesungguhnya Nabi saw. tidak melakukan qunut kecuali bila mendoakan kebaikan atau keburukan atas suatu kaum. (HR. Ibnu Khuzaimah, dalam Sulubussalam I: 150)

Dari Saad bin Zubair, ia berkata, “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya aku mendengar Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya qunut pada shalat shubuh adalah bid’ah”. (HR. Daraquthni, dalam Zaadul Ma’ad I: 69)

Dari Abu Makhlad, aku shalat shubuh bersama Ibnu Umar, maka beliau tidak qunut. Aku pun bertanya, “Aku tidak melihat tuan qunut”. Beliau menjawab, “Aku tidak meriwayatkannya salah satu pun dari sahabat-sahabat kami”. (HR. Al-Baihaqi, dalam Zaadul Ma’ad I: 69)

Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. tidak pernah qunut dalam shalat beliau”. (HR. Al-Baihaqi, dalam Al-Majmu’ III: 505)

Dari Ummu Salamah r.ha., sesungguhnya Nabi saw. melarang qunut dalam (shalat) shubuh”. (HR. Al-Baihaqi, dalam Al-majmu’ III: 504)

Dari beberapa hadits di atas, maka lebih lanjut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan ulama’-ulama’ yang sepandangan dengan beliau berpendapat bahwa qunut adalah perkara baru (muhdats) dan identik dengan perbuatan bid’ah yang terlarang.

E.       Pencarian Titik Temu

Cukup rumit dalam mencari penyelesaian dan titik temu tentang permasalahan qunut ini, karena masing-masing pihak memiliki dasar yang sama-sama kuat dan sulit terbantahkan. Bagi kelompok yang kontra qunut, mereka berlandaskan pada argumen bahwa hadits yang dijadikan pegangan disyariatkan qunut tidak memenuhi syarat-syarat yang sah untuk dipakai hujjah. Seperti contoh hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. berikut ini:

Dari Anas bin Malik r.a., sesungguhnya Nabi saw. melakukan qunut selama sebulan untuk mendoakan jelek kepada pembunuh-pembunuh sahabatnya di Bi’ru Maunah, kemudian beliau meninggalkannya. Adapun shalat shubuh beliau tidak meninggalkan qunut sampai meninggal dunia. (HR. Daraquthni, Abdurrazzaq, Abu Mu’a’m, Baihaqi, dan Hakim, dalam Shahih Tuhfatul Ahwadzi II: 433)

Di dalam sanad hadits ini terdapat Abu Ja’far Arrazy. Walaupun oleh sebagian ulama dianggap tsiqah, namun ada pula yang berpendapat bahwa ia memiliki kelemahan, seperti tidak kuat hafalan, kacau hafalannya, banyak bimbang, jelek hafalannya, dan pernah berbuat salah. Beberapa kelemahan ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, seperti Ali Al-Madini, Abu Zur’ah, Amr bin Ali Fallah, Ibnu Ma’in, dan Ad Duwary. Dari penuturan beberapa tokoh ini, maka hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik menjadi tidak shahih (baca: tidak murni) lagi. Coba bandingkan dengan hadits yang lain yang juga diriwayatkan oleh Anas bin Malik berikut:

Kami bertanya kepada Anas, bahwa sesungguhnya suatu kaum berpandangan Nabi saw. senantiasa melakukan qunut shubuh. Anas menjawab, “Mereka berdusta (tidak benar), beliau hanya melakukan qunut sebulan mendoakan jelek kabilah dari kabilah-kabilah orang-orang musyrik”. (Tuhfatul Ahwadzi II: 433).

Juga dikuatkan oleh riwayat Ibnu Khuzaimah sebagai berikut:

Dari Anas bin Malik r.a., sesungguhnya Nabi saw. tidak melakukan qunut kecuali bila mendoakan kebaikan atau mendoakan keburukan atas suatu kaum. (Subulussalam I: 150).

Sehingga dari sini, pihak yang kontra qunut berkesimpulan, riwayat-riwayat yang menetapkan qunut (itsbaatul qunut) tidak bisa dijadikan pegangan karena sudah tidak shahih dan murni lagi, dan terkesan kacau lantaran dibantah oleh riwayat-riwayat yang meniadakan qunut (nafi qunut) yang lebih rajih (kuat). Akhirnya mereka berpendapat bahwa qunut hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja (nazilah).

Selanjutnya kelompok yang setuju atas disyariatkannya qunut (pro qunut) berpendapat, hadits yang diriwayatkan oleh Saad bin Thariq – yang sudah disebutkan di atas – dan hadits-hadits lain yang menunjukkan ketetapan qunut (Itsbaatul Qunut) menggambarkan tambahan ilmu (ziyadah ‘ilmu) dan riwayat tersebut lebih banyak daripada yang menunjukkan peniadaan qunut (Nafi Qunut).

Oleh karena itu lebih lanjut Imam An-Nawawi menegaskan bahwa hadits Itsbaatul qunut wajib lebih didahulukan. Dalam hal ini hadits Ibnu Mas’ud menunjukkan Nafiul qunut, sedangkan hadits Anas bin Malik menunjukkan Itsbaatul qunut, maka hadits Anas lah yang lebih didahulukan. Dalam kaidah ushul disebutkan: Idzaa ta’aaradha al-itsbaatu wannafyu quddima al-itsbaatu (Jika itsbat dan nafi bertentangan, maka itsbat lebih didahulukan).

Imam Asy-Syaukani menyebutkan bahwasanya Al-Hafidz Al-Iraqi menceritakan qunut dari sahabat Abu Bakar, Umar, Ali, dan Ibnu Abbas, ia berkata: Perihal qunut dari mereka benar-benar shahih. Beliau menambahkan: Jika itsbat dan nafi bertentangan, maka itsbat lebih didahulukan (Nailul Authar II: 385).

Imam Al-Hamdani berkata: Hadits-hadits kami menunjukkan itsbaatul qunut dan hadits-hadits mereka menunjukkan nafiul qunut, sedangkan itsbat harus lebih didahulukan daripada nafi karena asal mulanya adalah tiadanya qunut, atau hadits-hadits kami lebih memberi tambahan hukum karena telah menetapkan qunut. Jadi lebih utama. (Al-I’tibar , hlm. 97).

Dan bahkan, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauzi berkata: Hadits-hadits riwayat Anas semuanya shahih. Antara satu dengan yang lainnya saling membenarkand an tidak bertentangan. Adapun qunut yang disebutkan sebelum ruku’ sebenarnya berbeda dengan yang disebutkan setelah ruku’. Begitu pula qunut yang waktunya dibatasi berbeda dengan qunut yang waktunua tidak dibatasi. Qunut yang disebut oleh sahabat Anas sebelum ruku’ bermakna berdiri lama untuk qira’ah (bacaan dalam shalat), sedang yang disebut setelah ruku’ bermakna berdiri lama untuk berdoa. Qunut ini dilakukan Rasulullah saw. selama sebulan tujuannya mendoakan kebaikan untuk suatu kaum dan mendoakan keburukan atas kaum yang lain. Hal itu berlangsung lama sampai kemudian berlanjut menjadi doa dan pujian hingga beliau meninggal dunia. Sedangkan beliau tinggalkan adalah qunut untuk mendoakan buruk atas kaum-kaum bangsa Arab, dan demikian itu dilakukan beliau setelah ruku’. (Zaadul Ma’ad I: 72-73).

Lain lagi dengan hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud berikut:

Rasulullah saw. tidak pernah melakukan qunut sama sekali dalam shalatnya. (HR. Baihaqi)

Hadits diatas sangat lemah, karena di dalamnya terdapat Muhammad bin Jabir As-Sahmi. Ia sangat dhaif dan bahkan matruk (ditinggalkan haditsnya). Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, sangat dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Abu Laila Al-Kufi. Lebih lanjut Imam Al-baihaqi berkata: Hadits ini tidak shahih. Abu Laila Al-Kufi matruk, dan kami sendiri meriwayatkan hadits: Sesungguhnya Nabi saw. berqunut. Begitu pula hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah r.ha, juga dhaif. Hadits ini bersanadkan Muhammad bin Ya’la dari Anbasah bin Abdurrahman dari Abdullah bin Nafi dari ayahnya Nafi dari Ummu Salamah r.ha. Imam Ad-Daraquthni berkata: Ketiga perawi itu dhaif. Tidaklah shahih bila nafi mendengar dari Ummu Salamah. (Lihat Al-Majmu’ III: 505).

Sementara haditsnya Ibnu Umar yang mengatakan: Aku tidak menghafal (riwayat) qunut dari satupun sahabat kami. Ucapan Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa beliau tidak menghafalnya atau beliau lupa akan qunut shubuh. Di samping Ibnu Umar, ternyata sahabat Anas, Al-Bara’ bin Azib, dan yang lainnya tidak lupa. Maka selayaknya yang tidak lupa didahulukan (Lihat Al-Majmu’ III: 505).

Kembali pada fokus hadits yang diriwayatkan Saad bin Thariq di atas, baik yang pro maupun yang kontra qunut. Dapat diperhatikan dalam hadits tersebut terdapat perbedaan matan. Satu matan menyebutkan, “Ay bunayya muhdatsun” (puteraku, qunut adalah perkara baru), dan yang lain menyebutkan, “ Ay bunayya fahaddats” (puteraku, maka ceritakanlah perkara qunut ini). Para ulama mazhab menanggapi hadits ini secara berlainan. Imam Abu Hanifah mengambil yang pertama, sedangkan Imam Asy-Syafi’i yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawi mengambil matan yang kedua.

Dalam usaha memadukan dua pendapat ini, ada sebuah cerita, suatu ketika Imam Asy-Syafi’i (yang pro qunut) menjadi Imam shalat shubuh di sebuah masjid yang mayoritas masyarakatnya mengikuti mazhab Imam Abu Hanifah yang kontra qunut, beliau tidak berqunut, padahal qunut adalah hasil ijtihad beliau (Lihat Ar-Risalah Al-Islamiyyah hlm. 47 dan Mauqiful Ikhtilafi hlm. 113).

F.       Upaya Jalan Tengah

Ulasan tentang beberapa argumen di atas cukup menggambarkan secara jelas dan terperinci perihal qunut tersebut, yang masing-masing mempunyai pendapat yang mampu dipertanggungjawabkan di atas landasan syariat yang benar meski bertolakbelakang. Untuk menanggapinya, ada beberapa ulama yang tidak terlalu memihak terhadap salah satu kelompok yang senantiasa berusaha untuk mencari jalan tengah, yaitu dengan jalan pemaduan (jama’) sebelum menyatakan bahwa kedudukannya saling bertentangan dalam hakikatnya.

Ulama-ulama tersebut salah satunya ialah, seperti Imam An-Shan’ani. Beliau berpendapat, dari sini terdapat petunjuk yang dilakukan oleh para sahabat bahwa praktik mengenai qunut ini diamalkan oleh sebagian dari mereka pada saat yang lain meninggalkannya. Begitu pula pendapat yang diutarakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata, “Perihal qunut tidaklah mengherankanku (laa yu’jibuni) ”. Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Aku tidak bersikap keras terhadap orang yang qunut (laa a’tu man yaqnutu)”. (Al-Inshaf II: 174).

Berangkat dari pertentangan terhadap dalil qunut tersebut, Syaikh Ad-Dahlawi berkata:

“Menurutku, qunut dan tidak qunut sama saja”. (Hujjatullah Al-Balighah II: 11).

Dengan adanya hadits-hadits qunut yang kontradiktif di atas, maka sebagian ulama berpendapat: “Bisa jadi nafi qunut memberikan petunjuk bahwa qunut hukumnya jawaz (mubah), tidak sampai ke tingkat sunnah ataupun haram”. (Lihat Sulubussalam I: 150).

Ada pula golongan yang berpendapat bahwa mengerjakan qunut adalah sunnah, begitu pun meninggalkan qunut juga sunnah. Orang yang konsisten melakukan qunut di setiap shalat shubuh tidaklah bid’ah dan tidak pula menentang sunnah. Demikian pula orang yang meninggalkan qunut tidak dapat dikatakan bid’ah dan menentang sunnah. Bagi mereka, melakukan qunut dan meninggalkannya sama-sama baik. (Zaadul Ma’ad I: 70).

Sekedar menambahkan, beberapa sahabat dan tabi’in yang tidak melakukan qunut shubuh antara lain Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka semua berpendapat, “Tidak ada qunut shubuh”. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan dalam pendapatnya bahwa yang boleh melakukan qunut adalah khalifah.

Sebaiknya, beberapa sahabat dan tabi’in yang melakukan qunut shubuh antara lain Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, semuanya termasuk Khulafaur Rasyidin. Selain mereka, ada pula para sahabat yang lain seperti Ammar bin Yasir, Ubay bin Ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Al-Bara’, Anas bin Malik, Mu’adz bin Harits Al-Anshari, Khalaf bin Imaa’ bin Rahadlah, Ahban bin Shaifi, Sahal bin Sa’ad As-Sa’idi, Arfajah bin Syuraih, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Aisyah. Di kalangan tabi’in ada Sa’id bin Musayyib, Hasan bin Al-Hasan, Muhammad bin Sirin, Rabi’ bin Khaitsam, Aban bin Utsman, Qatadah, Thawus, Ubaid bin Umair, Ayyub As-Salmani, Urwah bin Zubair, Ziyad bin Utsman, Abdurrahman bin Abu Laila, Umar bin Abdul Aziz, dan Humaid Ath-Thawil. Terakhir, dari kalangan fiqih ada Abu Ishaq, Abu Bakar bin Muhammad, Hakam bin Utaibah, Hammad, Malik bin Anas, Auza’i, Ulama Hijaz, mayoritas Ulama Syam, Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya, dan lain-lain. Mereka semuanya berpendapat, “Sunnah melakukan qunut Shubuh”. (Tuhfatul Ahwadzi I: 432).

Perbedaan ini berlanjut hingga generasi khalaf (kontemporer) yang akhirnya datang ke Indonesia diikuti oleh dua organisasi besar, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang masing-masing memegang pada salah satu pendapat di atas.

G.     Kesimpulan

Masalah qunut sudah menjadi ikhtilaf semenjak masa sahabat, tabi’in, sampai kepada masa mazhab empat. Mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pro qunut dan kelompok kontra qunut. Adanya dua kubu/kelompok di atas justru merupakan cerminan dinamika umat yang dapat memperkaya khazanah ilmu agama, sehingga perbedaan pendapat yang bersifat khilafiyah furu’iyyah masih dianggap wajar selama tidak masuk pada ranah aqidah. Bahkan keberadaan ikhtilaf ini merupakan rahmat bagi umat. Rasulullah saw. telah bersabda:

“Ikhtilaf (perbedaan pendapat) umatku merupakan rahmat”. (HR Ibnu Al-Hajib dan Al-Khaththabi).

Sebagaimana kisah Imam Asy-Syafi’i saat menjadi imam shalat shubuh di atas, dapat dilihat bagaimana para mujtahid terdahulu menghargai mendapat mujtahid lainnya sekalipun bertentangan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih:

“Al-Ijtihaadu laa yunqadhu bi al-ijtihaadi” (Suatu ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lainnya.

Oleh karena itu, dalam menyikapi ikhtilaf seharusnya tidak jumud (kaku) dan eksklusif (tertutup) dan mengklaim pendapat sendiri yang benar. Perbedaan seperti ini justru jadikan antara umat satu dengan umat yang lain saling bertasamuh, ta’awun, dan mahabbah dalam lingkaran ukhuwah islamiyah semata-mata mengharapkan ridha Allah. Silakan masing-masing beramal pada pendapatnya sesuai dengan hujjahnya sendiri, dalam arti tidak perlu memperuncing persoalan ini dan menjadikannya sebagai jalan untuk bermukhalafah (berpecah belah) di kalangan kaum muslimin. Sebab bermukhalafah, saling mengejek, menghina, menyalahkan, membid’ahkan, hingga memvonis saudara muslim sendiri agar masuk neraka adalah tindakan yang dapat mendatangkan murka Allah. Terlebih perbedaan pendapat mengenai qunut ini  sudah terjadi semenjak periode empat belas abad silam.

Untuk itu, semua umat Islam, mulai dari kalangan tokoh-tokoh agama, ulama, hingga kalangan masyarakat muslim biasa, baik yang pro maupun yang kontra, hendaknya memaklumi situasi semacam ini dan jangan terlalu dipermasalahkan, malah justru diarahkan agar perbedaan ini dapat dijadikan wawasan baru sekaligus menyadarkan umat Islam bahwa ada persoalan yang lebih penting dan urgen, yakni persatuan umat.

Semoga ulasan tentang qunut ini menjadi tambahan ilmu, mampu bersikap fair dalam menerapkan ilmu, yang akan semakin mewarnai keragaman  dalam satu bingkai kesatuan umat Islam di tengah-tengah pluralitas masyarakat Islami.

Wallaahu a’lamu bishawaab.

Tradisi Tahlilan

1. Pendahuluan

Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman wali songo yang sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan ada sebagian orang masih mempercayai bahwa tradisi semacam ini dapat membawa keberuntungan tersendiri bagi yang menyelenggarakannya. Keberuntungan ini bisa berupa ketenangan hati bagi yang berhajat, berlimpahnya rezeki serta menambah rasa kebersamaan antar sesama dan bahkan mampu menambah dekat kepada Sang Pencipta selaku pemberi rezeki.

Namun apabila kita mau jujur, asal usul tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Budha yang termodifikasi oleh ide-ide kreatif pada wali songo, penyebar agama Islam di Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih mempercayai kepada makhluk-makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu kepada makhluk-makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya. Agar keinginan itu terkabul, maka mereka membuat semacam sesajen yang nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden dan pohon-pohon besar.

Melihat kenyataan tersebut, selain menyebar dakwah Islam, para wali songo juga bertekad ingin merubah kebiasaan mereka yang sangat kental akan nuansa tahayyul untuk kemudian diarahkan kepada kebiasaan yang bercorak islami dan realistik. Untuk itulah, mereka berdakwah lewat jalur budaya dan kesenian yang cukup disukai oleh masyarakat dengan sedikit memodifikasi serta membuang unsur-unsur yang berseberangan dengan Islam. Dengan begitu, agama Islam akan cepat berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah tradisi yang selama ini mereka lakukan.

2. Tahlilan dan Pelaksanaannya

Kata “Tahlilan” berasal dari kata “tahlil” yang dalam bahasa Arab bermakna mengucapkan kalimat thayyibah “Laa ilaaha illallah”, yang berarti tiada Tuhan selain Allah swt. Makna tahlil kemudian berkembang menjadi serangkaian bacaan yang terdiri dari kumpulan dzikir seperti tasbih, tahmid, shalawat, takbir, tahlil dan beberapa bacaan dzikir yang lain, serta ayat-ayat Al-Qur’an dan doa. Oleh karena bacaan tahlil lebih dikenal dan lebih dominan daripada yang lainnya, maka kata tahlil terpilih menjadi nama serangkaian bacaan tersebut. Dengan demikian, rangkaian bacaan inilah yang menimbulkan istilah tahlilan, yang berarti kegiatan berkumpulnya orang-orang di suatu tempat untuk membaca tahlil.

Tradisi tahlilan ini diadakan oleh sebagian besar masyarakat agar orang yang sudah meninggal diterima amalnya di sisi Allah dan mendapat ampunan atas dosanya yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah.

Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berkata, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hasyr: 10)

Tahlilan memiliki beberapa tujuan yang manfaatnya tidak hanya dirasakan bagi keluarga yang melaksanakan saja, namun juga dapat dirasakan oleh para undangan yang menghadirinya. Di antara tujuan tahlilan bagi para undangan yang hadir dalam acara ini adalah:

  1. Menghibur keluarga almarhum/almarhumah
  2. Mengurangi beban keluarga almarhum/almarhumah
  3. Mengajak keluarga almarhum/almarhumah agar senantiasa bersabar atas musibah yang telah dihadapinya.

Adapun tujuan tahlilan bagi keluarga almarhum/almarhumah adalah:

  1. Dapat menyambung dan mempererat tali silaturahmi antara para undangan dengan keluarga almarhum/almarhumah.
  2. Meminta maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat oleh almarhum/almarhumah semasa hidupnya kepada para undangan.
  3. Sebagai sarana penyelesaian terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban almarhum/almarhumah terhadap orang-orang yang masih hidup.
  4. Melakukan amal shaleh dan mengajak beramal shaleh dengan bersilaturahmi, membaca doa dan ayat-ayat al-Qur’an, berdzikir, dan bersedekah.
  5. Berdoa kepada Allah agar segala dosa-dosa almarhum/almarhumah diampuni, dihindarkan dari siksa neraka dan diberikan tempat terbaik di sisi Allah.
  6. Untuk mengingat akan kematian bagi para undangan dan keluarga almarhum serta dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

Tahlilan sudah merupakan tradisi yang sudah dilakoni oleh sebagian masyarakat secara turun-temurun semenjak masuknya Islam di Jawa hingga sekarang ini untuk memperingati waktu kematian seseorang. Tradisi ini diselenggarakan secara berurutan, yaitu mulai malam ketujuh, keempat puluh, keseratus, pendak pisan (satu tahun), pendak pindho (dua tahun) hingga keseribu hari dari wafatnya seseorang. Setelah itu, tahlilan dilaksanakan secara periodik setiap tahun pada tanggal dan bulan kematiannya yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan istilah kenduri atau slametan dalam rangka kirim doa, atau juga sering disebut dengan istilah “haul”.

Setelah acara selesai, biasanya yang mempunyai hajat (dalam hal ini adalah tuan rumah atau ahli warisnya) menghidangkan makanan dan minuman kepada para undangan tahlil, bahkan sebelum pulang pun juga diberi berkat (makanan/jajanan yang dibungkus untuk dibawa pulang) dengan maksud bersedekah. Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan diadakannya tahlilan ialah mengirim doa dan pahala yang diperuntukkan bagi si mayit melalui serangkaian bacaan tahlil dan diteruskan dengan doa agar amal seseorang yang ditahlili (si mayit) diterima dan dosa-dosanya diampuni oleh Allah swt.

Maksud pahala disini bukan hanya berarti balasan dari Allah terhadap seseorang atas ketaatannya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun makna pahala dalam acara tahlilan ini ialah kenyamanan dan kenikmatan atas Rahmat dan Maghfirah Allah swt yang dirasakan seseorang baik diperoleh dari amal salehnya selama hidup di dunia maupun atas pemberian hadiah dari orang lain melalui mengirimkan pahala kepada seseorang yang dituju. Sehingga menghadiahkan pahala dimaksudkan untuk menjadikan ganjaran dari sebuah amal agar dapat dinikmati oleh orang lain yang dituju dan juga dapat dinikmati oleh orang yang membaca itu sendiri.

3. Tahlilan: Bid’ah Atau Bukan?

Tradisi tahlilan ini memang tidak terdapat pada zaman Nabi saw. Lebih tepatnya tradisi ini lebih identik dengan perpaduan antara kebudayaan Jawa Kuno dengan tradisi Islam. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang secara terang-terangan menolak, bahkan menentang tradisi ini. Sebab, mereka meyakini bahwa acara tahlilan merupakan amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, sehingga termasuk bid’ah. Dan mereka tak segan-segan menjatuhkan vonis neraka jahannam bagi orang-orang yang tetap mengamalkannya. Mereka merujuk pada sebuah hadits Rasulullah saw yang sangat populer berikut:

و شرّ لأمر محدثاتها وكلّ بدعة ضلالة وكلّ ضلالة في النّار (رواه مسلم و النّساء)

Artinya: “Perkara yang terburuk adalah pembaharuan-pembaharuan, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempat tinggalnya di neraka” (HR Muslim dan Nasa’i).

Namun perlu diingat, para wali songo dalam berdakwah sangat mengedepankan kehati-hatian serta strategi yang jitu dalam misinya menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sebab, di kala itu kondisi mereka yang masih beragama Hindu dan Budha masih belum mampu merubah total apa yang menjadi kebiasaan dan tradisi mereka, sehingga sangat sulit bagi para wali apabila langsung mengkikis kebudayaan yang mereka lakukan selama itu dalam dakwahnya. Mereka juga tidak sembarangan membuang adat-istiadat yang mereka lakukan serta sangat selektif dan teliti memilah-milah kebiasaan mana yang masih dalam koridor syari’at dan mana yang bertentangan. Sebab apabila para wali songo bertindak gegabah dalam menjalankan misinya, maka agama Islam pun sulit diterima oleh orang Jawa pada waktu itu. Bahkan tak jarang merekapun semakin membenci pada Islam yang justru semakin menghambat berkembangnya agama yang dibawa baginda Rasulullah saw ini. Strategi wali songo ini kemudian diperkuat dengan statement Imam Syafi’i yang dikutip dalam buku “Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam” karangan Ibnu Rajab yang berbunyi:

Bid’ah itu ada dua, yaitu bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah dhalalah (tercela). Bid’ah hasanah berarti bid’ah yang selaras dengan sunnah, sedangkan bid’ah dhalalah berarti bid’ah yang bertentangan dengan sunnah.

Maka dari itu, definisi bid’ah perlu diluruskan kembali pemahamannya. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasa’i diatas merupakan dasar agama yang sangat urgen dan universal sehingga maknanya masih umum. Akan tetapi, hadits tersebut dibatasi maknanya dengan hadirnya hadits yang lain:

من أحدث في أمرنأ هذا ما ليس منه فهو ردّ (رواه بخاري ومسلم)

Artinya: “Barangsiapa yang membuat pembaharuan dalam agamaku ini dengan hal yang bukan dari-Nya maka ia tertolak” (HR Bukhari Muslim)

عن ابن مسعود موقوفا: ما راد المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما راد المسلمون قبيحا فهو عند الله قبيح (أخرجه أحمد)

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud ra: “Apa yang menurut kaum muslimin baik maka menurut Allah adalah baik. Dan apa yang menurut kaum muslimin jelek maka menurut Allah adalah jelek” (Hadits Mauquf dan ditakhrij oleh Ahmad)

Maksud hadits di atas adalah segala jenis pembaharu-pembaharu yang sama sekali tidak berdasarkan kaidah syara’ maka amalannya ditolak oleh Allah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah setiap amalan yang dilakukan tanpa ada legalitas syari’at sama sekali, bukan hanya dimaknai dengan setiap amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw saja.

Memang setiap perbuatan atau amalan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw adalah sunnah dan dianjurkan untuk diamalkan oleh umat Islam, namun bukan berarti segala apa yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh beliau disebut bid’ah seperti yang telah dinashkan pada hadits yang pertama tadi. Dicek terlebih dahulu apakah amalan yang tidak dicontohkan oleh beliau masih terkandung nilai-nilai yang selaras dengan sunnah atau tidak sama sekali. Bila ditemukan suatu hal yang mana bid’ah lebih banyak daripada sunnah, maka perlu dibenahi kembali amalan tersebut, apakah masyarakat masih memerlukan dan sangat berat untuk meninggalkan amalan tersebut ataukah tidak. Jika masih diperlukan, maka perlu memodifikasi kembali agar sesuai dengan sunnah, bukan malah membuangnya mentah-mentah kecuali jika benar-benar dilarang oleh hukum syara’ dan mengandung madharat yang besar.

Lalu bagaimana dengan pelaksanaan tahlilan ini? Apakah ada dasar syari’atnya ataukah tidak? Hal tersebut hingga saat ini masih dalam permasalahan perbedaan pendapat (khilafiyah) dan sukar untuk memutuskan hukum yang pasti yang status hukumnya bersifat universal. Karena masing-masing kelompok bersikukuh mempertahankan pendapatnya masing-masing yang sama-sama merujuk pada nash yang sama, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Kalaupun tahlilan tidak pernah dilakukan pada masa kehidupan Rasulullah, maka harus dikaji dan diteliti kembali apakah pelaksanaan tahlilan mengandung nilai-nilai yang dibenarkan syara’ ataukah tidak. Yang jelas, tradisi tahlilan ini dirintis oleh para wali songo yang hingga saat ini masih dianggap sebagai generasi tabiit tabiien yang sangat diacungi jempol keberadaannya dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Jika tahlilan dianggap bid’ah sehingga pelakunya diancam neraka, maka seharusnya dari dulu-dulu wali songo sudah menentangnya karena tradisi ini bertentangan dengan Islam.

Sebagaimana yang telah diungkap diatas, diadakannya tahlilan dimaksudkan agar amal armarhum diterima dan segala dosa yang diperbuat sewaktu didunia diampuni oleh Allah swt. Hal ini wajar sebab Rasulullah sendiri menganjurkan agar umat muslim selalu mendoakan umat muslim yang lain. Maka dari sinilah muncul istilah mengirim pahala yang ditujukan kepada almarhum.

Mengirim pahala ini pula tak jarang mengundang kontroversi, dikarenakan terdapat sebuah ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa si mayit tidak dapat menerima pahala dari orang lain yang masih hidup, yakni di surat An-Najm ayat 39:

وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإَنْسَانَ إِلاَّ مَاسَعَى (النجم: 39)

Artinya: “Dan sesungguhnya seorang manusia tidak mempunyai hak selain pahala dari amal yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm: 39)

Ayat diatas dengan tegas bahwa pahala seseorang diperolehnya hanya karena amal saleh yang dilakukan sewaktu di dunia. Namun ayat diatas dipersempit maknanya oleh Hadits populer berikut:

عن أبي هريرة رصي االله عنه أنّ رسول االله صلّى االله عليه وسلّم قال: إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلاّ من ثلاث, صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (رواه الترمذي)

Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya” (HR. Turmudzi).

Hadits kedua inilah yang oleh kelompok pro-tahlilan dijadikan sumber dalil diperbolehkannya tahlilan. Namun ada pula kelompok yang bersikukuh tetap tidak memperbolehkan tahlilan lantaran isi hadits tersebut hanya dipahami secara tekstual yang disitu dijelaskan bahwa amalan si mayit akan tetap mengalir apabila terpenuhinya tiga hal, salah satunya ialah anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya. Maka selain ahli waris, pengiriman pahala tidak akan sampai kepada si mayit. Walaupun begitu, kita tetap tidak bisa menyalahkan kelompok yang mentradisikan tahlilan karena mereka memiliki pemahaman sendiri terhadap hadits tersebut.

Status hukum tahlilan pun juga masih belum jelas, apakah sunnah ataukah sebaliknya. Yang jelas, ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan bahwa al-urf (adat/tradisi masyarakat) yang masih sejalan dengan sunnah maka tidak bisa dihukumi haram dan bid’ah karena masih sejalan dengan sunnah. Karena itu, kita tidak perlu ribut-ribut memperselisihkannya sebab akan menimbulkan masalah baru yang dapat memperkeruh suasana keberagaman pandangan di tengah-tengah umat Islam.

Agar tidak timbul pertentangan dan konflik yang berkepanjangan di kalangan internal umat Islam, maka jalur tengahnya adalah saling mentolerir dan membuka diri antar sesama muslim. Bagi pihak yang pro-tahlilan, dipersilakan untuk melakukannya asal tidak menganggapnya sebagai hal yang mutlak wajib dilakukan. Namun bagi yang sangat antipati terhadap tahlilan, alangkah baiknya jika diam dengan tidak menjelek-jelekkan apalagi membid’ahkan pihak yang menyukai tradisi ini, atau lebih baik men-tabayyun-i (menyampaikan argumennya secara bijak) kepada pihak yang menyukai tahlilan maupun tidak. Sebab Islam adalah agama yang tidak mengajarkan perpecahan dan permusuhan antar sesama umat muslim. Justru perbedaan ini akan semakin memperkaya ajaran Islam yang berdampak pada umat Islam dan non-muslim akan semakin tertarik untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.

Semoga dengan diuraikannya bahasan singkat tentang tradisi tahlilan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi khazanah keilmuan Islam, khususnya kepada kaum muslimin dimanapun berada agar senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah dan saling bertoleransi ketika terjadi perbedaan pandangan dan pendapat. Hanya Allah yang Maha Tahu yang terbaik.

Tradisi Masyarakat Jawa Tentang Kelahiran

Masyarakat Jawa terkenal dengan keteguhannya mempertahankan dan melestarikan tradisi nenek moyangnya. Setelah Islam masuk, para ulama’ seperti wali songo memodifikasi kebudayaan yang berbau mistik dan tahayyul kepada tradisi yang sesuai dengan norma-norma Islam. Tradisi Jawa mengenai kelahiran seorang anak misalnya, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, bahkan penuh dengan pengkultusan, kemusyrikan dan kemubadziran. Lalu oleh usaha kreatifitas wali songo diubahlah kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi yang Islami. Di antara kebiasaan yang lazim dilakukan orang Jawa yang telah diakulturasikan dengan tradisi Islam berkenaan dengan kelahiran seorang anak seperti berikut:

1. Adzan dan Iqamah Bagi Bayi Yang Baru Lahir

Adzan dan iqamah adalah kalimat dakwah yang sempurna, pula yang keberadaannya merupakan salah satu tonggak awal berdirinya ajaran Islam.  Lantunan adzan secara hukum syar’i  tidak hanya dikumandangkan pada saat akan melaksanakan ibadah shalat saja, namun boleh dilakukan kapan saja, termasuk ketika sang bayi baru lahir dari rahim ibunya.

Para ulama’ sepakat bahwa sunnah hukumnya mengumandangkan adzan dan iqamah ketika bayi baru lahir. Kesunnahan ini dapat diketahui dari sebuah hadits berikut:

Dari Ubaidah r.a. dari ayahnya, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. mengumandangkan adzan di telinga Husain bin Ali r.a. ketika Fatimah melahirkannya” (HR. Abu Daud).

Selain hadits di atas, anjuran disunnahkannya adzan dan iqamah pada sang bayi beralasan bahwa sebelum mendengarkan ucapan atau suara lain dari luar, alangkah baiknya sang bayi terlebih dahulu mendengarkan kalimat tauhid untuk mengingatkan janji yang telah diikrarkan oleh sang bayi ketika berusia 4 bulan di dalam kandungan di hadapan Allah. Firman Allah:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka, dan Allah mengambil janji terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku (Allah) ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raf: 172)

Selain itu, suara adzan juga berfaedah untuk mendidik aqidah dan kepercayaan yang benar dan merupakan awal dari serangkaian proses pendidikan selanjutnya. Hanya dengan aqidah yang benar sajalah seseorang dapat mengarungi hidup secara sempurna melalui tauhid yang benar demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Pelaksanaan adzan dan iqamah dilakukan pada saat sang bayi sudah dibersihkan dari cairan dan kotoran lainnya. Lantunan adzan dikumandangkan di telinga bayi sebelah kanan, sedangkan iqamah dilantunkan di telinga bayi sebelah kiri. Hal ini berfungsi agar kedua telinga sang bayi terbentengi oleh suara kalimat tauhid. Ditambah kalimat “Qad qaamatis shalah” pada saat iqamah yang mengisyaratkan bahwa terdapat penegasan tentang penghambaan diri manusia kepada Allah dan sebagai sarana berkomunikasi antara manusia dengan Allah melalui penegakan shalat.

Dengan demikian, pelantunan adzan dan iqamah bertujuan tidak lain sebagai sarana doa serta seruan kepada bayi agar senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah swt.

2. Tahnik dan Brokohan Untuk Bayi

Tahnik artinya suapan pertama dari makanan yang diberikan pada bayi yang baru lahir. Pada umumnya, makanan yang akan ditahnik terlebih dahulu dilumat atau dihaluskan, kemudian diberikan kepada sang bayi sambil menggosok-gosokkannya kelangit-langit mulut. Terkadang makanan yang akan diberikan juga diberi madu dengan maksud sebagai pelatihan bagi sang bayi untuk dapat makan, memberikan rangsangan terhadap makanan dan minuman, dan menjaga kondisi fisik dan kesehatan bayi agar tahan terhadap serangan penyakit.

Brokohan artinya meminta doa dan keberkahan. Maksudnya ialah serangkaian acara –mulai dari pelaksanaan adzan dan iqamah di telinga bayi, memohon doa kepada para ulama dan masyarakat bagi keselamatan si jabang bayi hingga memberi nama– dalam rangka memperingati kelahiran bayi dalam wujud selamatan atau kenduri.

Pelaksanaan brokohan sudah menjadi tradisi  yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Asia Tenggara dan sebagian masyarakat muslim Indonesia, sebab asal-usul tradisi ini sebenarnya meniru kebiasaan yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. 1400 tahun yang lalu. Dalam sebuah hadits disebutkan:

Dari Aisyah r.a. berkata: Asma’ binti Abu Bakar telah keluar sewaktu hijrah. Padahal pada waktu itu ia sedang berat mengandung bayi Abdullah bin Zubair. Pada saat ia melewati dan sampai di Quba’, ia melahirkan Abdullah.  Setelah lahir, ia keluar menemui Rasulullah saw. supaya beliau meletakkan sesuatu pada langit-langit mulut anaknya. Lalu Rasulullah saw. mengambil anak tersebut darinya dan meletakkannya ke pangkuannya, kemudian beliau meminta buah kurma. Aisyah berkata, “Kami harus mencarinya terlebih dahulu sebelum diberikan kepada beliau”. Beliau meludahkannya ke dalam mulut anak tersebut sehingga yang pertama kali masuk ke perutnya adalah ludahnya Rasulullah saw. Selanjutnya Asma’ berkata, kemudian Rasulullah saw. mengusap kepala anak tersebut sembari mendoakannya dan menamainya dengan nama Abdullah. Kemudian apabila anak itu berumur tujuh ata delapan tahun, ia datang dan berbai’at kepada Rasulullah saw., karena ayahnya, Zubair, memerintahkannya berbuat demikian. Rasulullah saw. tersenyum ketika melihat anak itu menghadapnya, kemudian ia berbai’at kepada beliau. (HR. Muttafaqun ‘Alaih, al-Bayan, hadits no. 1257).

Dalam hadits lain juga diceritakan:

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. isteri Nabi saw, katanya: Rasulullah saw. selalu diserahkan beberapa orang bayi supaya didoakan dengan keberkatan serta mentahnik mereka. Sebaik sahaja beliau diserahkan seorang bayi, bayi tersebut kencing diatas beliau. Beliau meminta sedikit air kemudian mencurahkannya di atas kencing tersebut tanpa membasuhnya. (HR. Muttafaqun ‘Alaih, al-Bayan, hadits no. 158).

Jadi tidak benar apabila tradisi ini disebut-sebut sebagai bid’ah yang dilarang dalam Islam hanya karena sebab tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sehingga munculnya tradisi ini –walaupun secara penyebutan istilah berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh beliau, tetapi intinya sama saja – tetap bersumber dari sunnah Rasulullah saw.

3. Ritual Barakahan

Sebagaimana acara “brokohan” di atas, setiap bayi yang baru lahir kemudian oleh Rasulullah saw. didoakan. Doa merupakan salah satu komponen paling penting dalam Islam dan sebagai perisai orang-orang mukmin. Tak terkecuali bagi sang bayi, sangat dianjurkan untuk didoakan agar ia memperoleh kebaikan dalam beragama Islam dan kebahagiaan di dunia maupun akhiratnya. isteri Rasulullah saw, Aisyah r.a. menuturkan:

“Setiap bayi yang dihadapkan kepada Rasulullah saw., maka beliau mendoakannya, menyuapinya dengan kurma yang sudah dikunyah, dan mendoakannya dengan keberkahan” (HR. Abu Daud).

Pelaksanaan doa dalam acara barakahan di antaranya: Ayat Kursi 7 kali, Surat Alam Nasyrah 3 kali, Surat al-Qadr 7 kali, Surat al-Ikhlas 7 kali, Surat al-Falaq, Surat an-Naas dan Surat  al-fatihah masing-masing satu kali, dan dilanjutkan dengan doa:

“Dan sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar bayi beserta keturunannya terhindar dari godaan syetan yang terkutuk” (QS. Ali-Imran: 36).

Sedangkan para tetangga dan kerabat dekat dianjurkan untuk menjenguk saudaranya yang sedang dikaruniai anak. Hal ini dimaksudkan untuk mendoakan anak tersebut supaya menjadi anak yang shaleh dan berbakti kepada orang tua.

4. Mengebumikan Ari-Ari

Mengebumikan ari-ari dalam istilah lain ialah mengubur tali pusar yang sewaktu masih berada di dalam kandungan ibunya menjadi bagian dari tubuh sang bayi. Dalam tradisi Islam, semua yang termasuk bagian dari tubuh manusia dianjurkan dikubur atau dikebumikan, seperti kuku, rambut dan bagian-bagian tubuh yang lain akibat pembunuhan atau kematian seseorang yang tidak lazim. Termasuk tali pusar (ari-ari), darah dan semua yang menyertai kelahiran bayi ini tetap disyariatkan untuk dikubur.

Tradisi mengebumikan ari-ari ini sudah cukup populer dikenal oleh masyarakat Jawa sejak dahulu yang hingga saat inipun masih tetap dilestarikan. Merujuk pada ketentuan syariat, masyarakat muslim Jawa meyakini bahwa tradisi seperti ini menjadi suatu hal yang sangat utama, ari-ari beserta “batir”nya supaya dikebumikan layaknya orang yang sudah mati. Sebab, mengubur anggota badan atau semua yang termasuk di dalamnya adalah anjuran yang sangat ditekankan demi menghormati (memuliakan) pemiliknya.

Semua anggota-anggota tubuh manusia, sebagaimana di atas adalah organ-organ vital ketika sang bayi berada dalam kehidupan di alam kandungan. Namun atas qudrah dan sunnatullah, di saat sang bayi berpindah dari alam kandungan menuju alam dunia, organ-organ ini akan tidak berfungsi dan mengalami kematian dengan sendirinya. Sehingga organ-organ tersebut ketika masih berada di dalam kandungan ibunya juga memiliki nyawa selama mendampingi anaknya hingga melahirkan. Maka dari itu, wajar bila masyarakat memperlakukannya sebagaimana manusia, yakni dengan mengebumikan atau menguburnya.

Adapun pelaksanaannya ialah seperti proses pemakaman, namun dalam pengebumian ari-ari ini, ditambah dengan pemberian kunyit, bunga, dan lainnya. Terkadang ditambah pula dengan pemasangan lampu, lilin dan dimasukkan ke dalam “takir”. Akan tetapi penambahan ini dianggap sangat berlebihan dikarenakan tidak adanya kejelasan akan maksud dan tujuannya secara syar’i, sehingga dipandang haram hukumnya dalam norma agama.

5. Tradisi “Njagong” Bayi dan Sepasaran

Sebagaimana syukuran dan barakahan di atas, tradisi “njagong” atau majelis dzikir bagi kelahiran sang bayi juga ditradisikan oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Para tetangga dan sanak saudara diundang untuk datang ke tempat orang yang baru melahirkan dalam rangka membaca doa dan dzikir. Acara ini ditujukan sebagai rasa syukur dan ungkapan kebahagiaan atas kelahiran si jabang bayi selaku calon generasi penerus bagi keluarga dan masyarakat sekitar.

Kata “njagong” ini berasal dari bahasa jawa yang berarti duduk-duduk bercengkerama bersama sambil menikmati hidangan. Para undangan datang dalam rangka turut berbahagia atas kelahiran sang buah hati dari orang yang mempunyai hajat. Tuan rumah juga ikut njagongi (menemani ngobrol) para undangannya sambil makan bersama, yang makanan yang disuguhkan tersebut dimaksudkan sebagai sedekah.

Dalam pelaksanaan njagong ini, para undangan beserta tuan rumah diminta untuk membacakan kitab-kitab Maulid Nabi Muhammad saw, seperti al-Barzanji (berzanjian), shalawat Burdah Syaikh al-Bushairi (burdahan), dan kitab maulid ad-Diba’i (diba’an), terkadang pula dibacakan kitab manaqib. Pembacaan beberapa kitab-kitab tersebut dimaksudkan untuk memohon keberkahan kepada Allah melalui kemuliaan Rasul-Nya sehingga semua yang dihajatkan mendapat ridha dari Allah swt. Tradisi ini berlangsung lima hari hingga pada puncak acaranya ialah pada hari kelima, yakni diadakan tradisi “sepasaran”.

6. Pelaksanaan Aqiqah

Setelah upacara sepasaran dilangsungkan, kemudian pada hari ketujuh dilanjutkan dengan acara penyembelihan kambing, mencukur rambut bayi dan memberi nama. Dalam Islam, kebiasaan ini dikenal dengan sebutan aqiqah. Para tamu dan tetangga diundang untuk menghadiri acara tersebut dengan maksud yang sama dengan acara sepesaran di atas, yakni mendoakan agar supaya sang bayi yang akan diaqiqahi menjadi insan yang senantiasa taat kepada perintah Allah, menjadi anak yang shaleh dan berbakti kepada orang tuanya serta berguna bagi masyarakat.

Pelaksanaannya pun hampir sama dengan sepasaran. Dengan melalui pendekatan syariat, para tamu diundang dan diminta untuk membaca kitab Maulid Nabi Muhammad saw dan kitab manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan kenduri, seperti membaca tahlil dan ditutup dengan doa. Setelah selesai, para undangan disuguhkan dengan makanan yang menu utamanya ialah berupa daging sembelihan hewan aqiqah.

7. Menindik Telinga Bagi Anak Perempuan

Khusus anak perempuan, pada saat pelaksanaan aqiqah biasanya disertai dengan tradisi melubangi daun telinga yang nantinya dimaksudkan untuk tempat dipasangnya anting-anting atau tindik. Tradisi ini memang belum ada pada zaman Rasulullah dengan tidak adanya pernyataan langsung dari beliau tentang hal ini. Sehingga tradisi menindik telinga anak perempuan dihukumi boleh (mubah) asal diniatkan untuk tempat perhiasan semata. Namun untuk anak laki-laki hukumnya makruh, bahkan haram apabila akan menyerupai wanita.

Tradisi menindik ini sebenarnya sudah ditradisikan oleh Nabiyullah Ibrahim as. Ceritanya ialah suatu ketika Nabi Ibrahim diusir oleh keluarganya karena menyebarkan agama Tauhid. Kemudian dia lari ke utara (ke arah Haran). Di sanapun juga dimusuhi masyarakat sehingga ia pindah ke Kana’an (Palestina Selatan). Namun karena suatu sebab, ia dan isterinya pindah kembali ke Mesir. Ternyata disana terdapat seorang Raja yang justru menginginkan isterinya, yang tak lain bernama Sarah. Kemudian Ibrahim mencari akal agar istrinya supaya tidak jadi diperistri oleh Raja tersebut, yaitu dengan cara melubangi daun telinga milik Sarah. Menurut masyarakat Mesir pada masa lalu, wanita yang diketahui telinganya lubang dikategorikan sebagai orang yang cacat, yang menandakan bahwa ia adalah seorang budak. Dengan demikian, sang Raja mengurungkan niatnya untuk memperisteri Sarah.

Setelah tidak jadi memperistri Sarah, sang raja malah menghadiahkan seorang wanita dari keturunan Habsyi kepada Ibrahim. Wanita tersebut tak lain adalah Hajar, ibunda Ismail. Beberapa saat kemudian, Sarah kaget dan marah-marah ketika melihat daun telinganya berlubang. Maka dari itu, Ibrahim menutupi daun telinga istrinya dengan emas agar ia lebih kelihatan cantik. Nah, dari kisah inilah kemudian berkembang menjadi budaya masyarakat setempat, tak terkecuali oleh masyarakat Jawa.

Tidak hanya menindik daun telinga perempuan, khitan bagi anak laki-laki juga merupakan tradisi dari Nabi Ibrahim as. yang sampai saat ini tetap dilaksanakan. Begitupun budaya memakai sarung, yang akar sejarahnya juga berasal dari bapaknya Ismail as. Ini. Singkat cerita, saat Nabi Ibrahim as. berkhitan pada umur 97 tahun, beliau menggunakan kain penutup yang lebar sejenis sarung. Maka dari itulah, nabi kita tercinta Rasulullah saw.membiarkan kebiasaan tersebut agar tetap dilestarikan sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim as. Begitu pula agama Islam yang sudah dirintis sebelumnya oleh Nabi Ibrahim as. dalam bingkai agama Tauhid.

Allah swt. berfirman:

Katakanlah: “Benarkah (apa yang telah difirmankan) Allah?” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukankah dia termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. Ali Imran: 95).

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah millah Ibrahim seorang yang hanif”. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. (QS. An-Nahl: 123).

Demikianlah rincian mengenai tradisi tentang kelahiran, semoga menjadi wawasan bagi kita selaku umat Islam serta penerus tradisi para pendahulu kita.

Dikutip: Berbagai sumber

Tradisi Jawa Tentang Kematian

Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Jawa pada umumnya masih berpegang teguh dalam melestarikan tradisi kebudayaan nenek moyangnya. Mayoritas masyarakat Jawa juga masih mempercayai eksistensi ruh seseorang yang telah berpisah dari raganya sebagai penghormatan terakhir padanya. Berikut beberapa tradisi yang lazim dilakukan masyarakat Jawa umumnya berkenaan tentang peristiwa kematian seseorang, antara lain:

Brobosan

Yakni suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal. Waktunya pun dilaksanakan ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir (dimakamkan) dan dipimpin oleh salah satu anggota keluarga yang paling tua. Tata cara pelaksanaannya antara lain: 1) Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa jenazah selesai; 2) Secara berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki-laki tertua hingga cucu perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam; 3) Secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.

Upacara ini dilakukan untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dari almarhum. Dalam istilah jawanya disebut “Mikul dhuwur mendhem jero”.

Surtanah

Kata “surtanah” berasal dari ungkapan “ngesur tanah” yang bermakna membuat pekuburan. Istilah ini dilakukan dengan membuat sajian saat almarhum baru saja dimakamkan.

Tigang dinten

Yaitu semacam kenduri/slametan yang dilakukan pada hari ketiga dari kematian almarhum.

Pitung dinten

Sama halnya dengan kenduri tigang dinten, yakni dilakukan pada hari ketujuh dari kematian almarhum.

Petang puluh dinten

Yakni kenduri pada hari keempat puluh dari kematian almarhum.

Nyatus dinten

Yakni kenduri pada hari keseratus dari kematian almarhum.

Mendhak

Yakni kenduri yang dilakukan setelah satu tahun (pendhak siji) dan dua tahun (pendhak pindho) dari kematian almarhum.

Nyewu

Yakni kenduri pada hari keseribu dari kematian almarhum.

Kol (kirim-kirim)

Sebagaimana kenduri yang dilakukan pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus dan keseribu dari kematian almarhum, namun diselenggarakan setelah kenduri keseribu dan dilakukan pada waktu bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya.

Adapun syarat sajian yang mesti disiapkan dalam acara kematian, merujuk pada adat yang telah ditradisikan Keraton Yogya, antara lain:

Surtanah

Sajian yang harus disiapkan antara lain nasi gurih (sekul uduk), ingkung (ayam yang dimasak utuh), urap (daun sayuran rebus dengan kelengkapannya), cabe merah utuh, bawang merah yang sudah dikupas kulitnya, kedelai hitam, krupuk rambak, garam yang sudah dihaluskan, bunga kenanga, dan tumpeng yang sudah dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi (tumpeng ungkur-ungkuran). Maknanya ialah bahwa orang mati itu telah terpisah antara ruh dan jasadnya, sehingga upacara ini dimaksudkan untuk mendoakan almarhum yang telah berpindah dari alam dunia ke alam kubur.

Tigang dinten

Sajian yang dipersiapkan antara lain: 1) Takir pontang berisi nasi putih dan nasi kuning yang dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang panjang yang sudah dipotong, bawang merah yang sudah diiris, garam yang sudah dihaluskan, kue apem putih, uang, dan gantal dua buah; 2) Nasi asahan tiga tampah, daging sapi yang sudah dimasak, lauk-pauk yang kering, sambal santan, sayur menir dan jenang merah; 3) Dan makanan yang disukai almarhum juga dibuat dan diletakkan di samping kuburannya selama tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari setelah kematiannya.

Pitung dinten

Sajian yang dipersiapkan antara lain: 1) Takir berisi kue apem, uang logam, ketan dan kolak; 2) Nasi asahan tiga tampah, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang yang  diikat kecil-kecil, daging jerohan yang ditaruh di dalam conthong (wadah berbentuk kerucut), dan pindang putih.

Petang puluh dinten Nyatus dinten

Sajian yang dihidangkan sama dengan sajian ketika tujuh hari, kemudian ditambah nasi uduk, ingkung, kedelai hitam, cabe merah utuh, kerupuk kulit rambak, bawang merah yang sudah dikupas kulitnya, garam dan bunga kenanga.

Pendhak siji lan pendhak pindho

Sama halnya dengan sajian yang dihidangkan pada saat hari keempat puluh dan keseratus.

Nyewu

Sama halnya dengan sajian yang dihidangkan pada saat mendhak. Lalu ditambah: 1) daging kambing/domba yang dimasak becek. Sehari sebelum disembelih, kambing/domba tersebut disiram dengan bunga setaman, dicuci bulunya dan diselimuti dengan kain mori selebar satu tangan, diberi kalungan bunga dan diberi makan daun sirih. Keesokan harinya, domba tersebut ditidurkan di tanah dan diikat talinya, badan domba digambar dengan ujung pisau, kemudian disembelih dan dimasak becek; 2) sepasang burung merpati yang dikurung dan diberi rangkaian bunga. Setelah doa selesai dilakukan, burung tersebut dilepas dan diterbangkan. Hal ini dimaksudkan agar arwah orang yang meninggal diberi tunggangan agar cepat kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci, bersih dan tanpa beban sedikitpun; 3) Sesaji yang terdiri atas tikar bangka, benang lawe sebanyak empat puluh helai, jodhog, clupak berisi minyak kelapa dan uceng-uceng (sumbu lampu), minyak kelapa satu botol, sisir, serit, cepuk berisi minyak tua, cermin/kaca, kapun, kemenyan, pisang raja dan gula kelapa setangkep, kelapa utuh satu butir, beras satu takir, sirih dan perlenglapannya untuk nginang, dan bunga boreh. Semua perlengkapan ini ditaruh di atas tampah dan diletakkan di tangah-tengah orang yang berkenduri untuk melakukan doa.

Kol (kirim-kirim)

Kol atau ngekoli dilakukan dengan cara kenduri dengan bahan-bahan yang dipersiapkan: apem, kolak, ketan yang semuanya ditaruh di dalam takir, pisang raja setangkep, uang dan dupa.

Semua rangkaian upacara dan persiapan sesajen diatas kemudian oleh wali songo di-islamisasi-kan dengan ditambah doa-doa mayit, yasinan, fida’an, tahlilan yang dilakukan pada waktu-waktu itu. Walaupun tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang ini terlihat sangat kental dengan aura mistik yang sangat mendekati kemusyrikan dan kejahiliyyahan, namun oleh gagasan kreatif wali songo, tradisi tersebut dimodifikasi kembali hingga sesuai dengan ajaran Islam. Pelaksanaan kenduri lebih ditekankan pada pembacaan doa yang ditujukan kepada almarhum, sedangkan sesaji nantinya dimaksudkan untuk bersedekah. Sehingga tradisi tahlilan dan semacamnya ini bertujuan untuk bahan pembelajaran masyarakat (piwulang) yang lebih baik dan lebih Islami, dan bukan untuk tujuan nihayah (meratapi si mayit).

Selain itu, acara semacam ini dimaksudkan sebagai sarana dakwah yang mampu melebur dengan budaya setempat dan menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat lokal bahwa kematian bukan merupakan sesuatu yang harus ditakuti dan dikeramatkan, melainkan sebagai proses penyadaran akan beratnya proses kematian yang dialami seseorang sehingga timbul rasa bakti dan hormat kepada orang tua yang dapat dimplementasikan dalam wujud doa.

TIPOLOGI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Dalam kajian pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, beberapa ahli pendidikan Islam menggarisbawahi adnaya tiga alur pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, yaitu:

Pertama, kelompok yang berusaha membangun konsep (filosofis) pendidikan Islam, disamping melalui al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama, juga mempertimbangkan kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, serta pandangan-pandangan pemikir Islam.

Kedua, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal dari kedua sumber ajaran Islam tersebut.

Ketiga, kelompok yang berusaha membangun pemikiran (filsafat) pendidikan Islam melalui al-Qur’an dan al-Hadit, dan bersedia menerima setiap perubahan dan perkembangan budaya baru yang dihadapinya untuk ditransformasikan menjadi budaya yang Islami.

Disisi lain, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang menjawab tantangan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman, yaitu:

1. Tekstualis Salafi

Pemikiran Islam model ini berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dengan melepaskan diri dan kurang begitu mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf, yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama pemikirannya adalah kitab suci Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Sehingga model pemikiran ini terlihat kurang peka terhadap perubahan dan hanya menjadikan masyarakat salaf sebagai parameter dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modenitas.

2. Tradisionalis Mazhabi

Dalam pandangan pemikiran model tradisional salafi, ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunah dipahami melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu memperhatikan situasi historis dan sosiologis masyarakat setempat di mana ia turut hidup di dalamnya. Hasil pemikiran ulama’ terdahulu dianggap sudah pasti dan absolute tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya. Masyarakat muslim yang diidealkan adalah masyarakat muslim era klasik, dimana semua persoalan keagamaan dianggap telah terkupas habis oleh para ulama atau cendikiawan muslim terdahulu.

Pola pikirnya selalu bertumpu pada hasil ijtihad ulama’ terdahulu dalam menyelesaikan persoalan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan pada umumnya. Kitab kuning menjadi rujukan pokok, dan sulit untuk keluar dari mazhab atau pemikiran keislaman yang terbentuk beberapa abad lalu. Model pemikiran ini lebih menonjolkan wataknya yang tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai, norma dan adat kebiasaan serta pola-pola pikir yang ada secara turun menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis masyarakat yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.

3. Modernis

Model pemikiran Islam modernis berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan cultural yang dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer, tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Model ini tidak sabar dalam menekuni dan mencermati pemikiran era klasik, malahan lebih bersikap potong kompas, yakni ingin langsung memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim dan bangunan budaya masyarakat muslim yang terbentuk berabad-abad. Obsesi pemikirannya adalah pemahaman langsung terhadap nash Al-Qur’an dan langsung loncat ke peradaban modern.

4. Neo Modernis

Kalangan Neo Modernis untuk memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus berupaya mengikut sertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia teknologi modern. Jadi model ini selalu mempertimbangkan Al-Qur’an dan Al-Sunah, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke 19 dan 20 M. Jargon yang sering dikumandangkan adalah: “ al-Muhafazah ‘ala al-Qadim al-Salih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Aslah”, yakni memelihara hal-hal yang baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Sumber: lihat di http://imtaq.com. Mengutip dari Buku Wacana Pengembangan Pendidikan Islam Karya Dr. Muhaimin, M.A. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2003

Shalat Lidaf’il Bala’: Tradisi Islam di Bulan Safar Warisan Para Ahli Sufiyah

Shalat sunnah lidaf’il bala’ (tolak bala’) merupakan shalat sunnah hajat yang dikerjakan pada malam atau hari rabu akhir bulan Safar, tepatnya pada hari rabu pada pekan keempat. Shalat sunnah ini dikerjakan empat rakaat dua salam dan dilaksanakan secara berjamaah.

Shalat sunnah ini dilakukan dalam rangka memperingati sekaligus menenangkan umat dalam rangka berlindung kepada Allah akan datangnya bala’ dan bencana yang terjadi pada bulan Safar. Awal mula munculnya ibadah ini adalah berdasarkan ilham dan ijtihad para ulama’ salaf maupun ulama’ sufiyah terdahulu yang teringat bahwa bulan safar adalah bulan yang penuh dengan kesialan dan malapetaka, dan hari rabu pekan keempat merupakan hari yang paling na’as pada bulan itu. Seorang sufi asal India, Ibnu Khothiruddin Al-Atthor (w. th 970 H/1562 M), dalam kitab “Jawahir Al-Khomsi” menyebutkan, Syekh Al-Kamil Farid-Din Sakarjanj telah berkata bahwa dia melihat dalam “Al-Awrad Al-Khawarija” nya Syekh Mu’inuddin sebagai berikut:

أَنَّهُ يَنْزِلُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ ثَلاَثُمِائَةِ اَلْفٍ وَعِشْرِيْنَ أَلَفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ وَكُلُّهَا فَيْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِرَةِ مِنْ شَهْرِ صَفَرِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبُ أَيِّمِ تِلْكَ السَّنَةِ، فَمَنْ صَلَّى فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرُأُ فِيْ كُلِّ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ سَبْعَةَ عَشَرَ وَالْإِخْلاَصَ خَمْسَ مَرَّاتٍ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّاةً وِيَدْعُوْ بِهَذَا الدُّعَاءِ حَفَظَهُ االلهُ تَعَالَى بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلاَيَا  الَّتِيْ تَنْزِلُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَمْ تُحْمَ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ مِنْ تِلْكَ الْبَلاَيَا إِلَى تَمَام السَّنَةِ.

Artinya: “Sesungguhnya dalam setiap tahun diturunkan sekitar 320.000 macam bala’ yang semuanya ditimpakan pada hari rabu akhir bulan Safar. Maka hari itu adalah hari tersulit dalam tahun itu. Barang siapa shalat empat rakaat pada hari itu, dengan membaca di masing-masing rakaatnya setelah Al-Fatihah yakni surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, mu’awwidzatain masing-masing satu kali dan berdoa –do’anya Insya Allah akan disebutkan setelah ini–, maka dengan sifat karomnya Allah, Allah akan menjaganya dari semua bala’ yang turun pada hari itu dan di sekelilingnya akan terhindar dari bala’ tersebut sampai genap setahun” .

Adapun cara pelaksanaan shalat sunnah ini sama dengan shalat-shalat sunnah pada umumnya. Namun yang membedakannya adalah, setiap habis membaca surat Al-Fatihah pada masing-masing rakaatnya membaca: Surat Al-Kautsar 17 kali, Surat Al-Ikhlas 5 kali, Surat Al-Falaq dan surat An-Naas masing-masing satu kali.

Adapun doa yang dibaca setelah selesai shalat lidaf’il bala’ seperti berikut:

بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا محمَّدٍ وَّ عَلَى ألهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. نَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ القَيُّوْمُ وَنَتُوْبُ إلَيْهِ تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لاَيَمْلِكُ لِنَفْسِهِ ضَرًا وَلاَ نَفْعًا وَلاَ حَيَاةً وَلاَ مَوْتًا وَلاَ نُشُوْرًا. اللَّهُمَّ صَلِّيْ عَلَى سَيِّدِنَا محمَّدٍ. وَادْفَعْنَا مِنَ الْبَلاَءِ الْمُبْرَامِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْدُ بِكَلِمَاتِ التَّآمَّاتِ كُلِّهَا مِنَ الرَّيْحِ الْأَحْمَرِ وَمِنَ الدَّآءِ الْأَكْبَرِ فِيْ نَفْسِنَا وَدَمِّنَا وِلحمِنَا وَعَظْمِنَا وَجُلُوْدِنَا وَعُرُوْقِنَا. سُبْحَانَكَ إِذَا قَضَيْتَ مَرًّا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ. الله أَكْبَرُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ ٣X.

اللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقَوِيَّ وَيَا شَدِيْدَ الْمَحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جمِيْعَ خَلْقِكَ يَا مُحِسِنُ يَا مُجْمِلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لآاِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ارْحَمْنَا بِرَحْمًتِكَ يَا أرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللَّهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَاَخِيْهَا وَجَدِّهَا وَاَبِيْهِ وَاُمِّهِ وَبَنِيْهِ اكْفِنَا شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَاكَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَادَافِعَ الْبَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِا اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّ عَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ. آمين.

Setelah pelaksanaan shalat berakhir, biasanya diadakan shodaqohan sekadarnya seperti halnya kenduri yang diawali dengan membaca doa tahlil, kemudian dilanjutkan dengan ceramah atau mauidhah hasanah secukupnya, yang selanjutnya acara tersebut diakhiri dengan makan bersama. Setelah itu, para jamaah dipersilakan mengambil air barokah yang sudah dipersiapkan oleh panitia sebelumnya. Para jamaah pun bisa langsung meminumnya di tempat, atau boleh juga dibawa pulang untuk diminum bersama keluarga di rumah.

Status Hukum Shalat Sunnah Lidaf’il Bala’

Walaupun ibadah ini oleh sebagian kalangan dikategorikan sebagai amalan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah saw dan bahkan menganggapnya sebagai bid’ah, namun oleh para ulama’ sufiyah dan tarekat, amalan shalat lidaf’il bala’ ini tetap boleh dikerjakan asalkan tidak menganggapnya sebagai keharusan yang mesti dilakukan. Keeksistensian ibadah ini pula jangan sampai dijadikan barang perselisihan sehingga timbul pertentangan di kalangan internal umat muslim. Akan tetapi justru amalan ini dijadikan momentum peningkatan kualitas ibadah kepada Allah swt serta sebuah sarana agar dapat berlindung kepada-Nya dari segala macam bencana dan mara bahaya yang akan menimpanya.

Allah swt berfirman:

وَ اسْتَعِيْنُوْا بِا الصَّبْرِ وَالصَّلَوةِ (البقرة: 45)

“Carilah pertolongan (Allah) dengan sabar dan shalat” (QS. Al-Baqarah: 45).

Ayat diatas diperkuat dengan hadirnya sunnah Rasulullah saw:

عن حذيفة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم إذا حزبه أمر فزع إلى الصّلاة (رواه أحمد و أبو داود)

Dari Hudzaifah ra berkata: “Apabila Rasulullah saw menemui suatu kesulitan, maka beliau segera menunaikan shalat” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Apalagi semua shalat –baik shalat wajib maupun shalat sunnah– merupakan sebuah ibadah yang ditekankan untuk dilakukan oleh setiap muslim. Rasulullah saw telah bersabda:

الصّلاة خير موضوع

“Shalat adalah sebaik-baik amal yang ditetapkan (Allah untuk hamba-Nya)”

Ditambah lagi, setelah selesai shalat dilanjutkan dengan mauidhoh hasanah dan disertai dengan shadaqahan ala kadarnya. Inipun juga dianjurkan oleh Nabi saw dalam sabda beliau:

بَكِرٌوْا بِا الصَّدَقَةِ فَإِنَّ الْبَلاَءَ لاَ يَتَخَطَّاهَا (رواه الطبراني)

“Segeralah bershadaqah, sebab bala’ bencana tidak akan melangkahinya” (HR. Thabrani).

Yang menjadi permasalahan disini ialah, banyak di kalangan umat Islam meyakini bahwa amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya secara langsung dari Rasulullah saw – seperti halnya shalat lidaf’il bala’ ini – dianggapnya sebagai keharusan yang mesti dikerjakan, akan tetapi ibadah-ibadah yang jelas-jelas ada tuntunannya dari Rasulullah saw, oleh masyarakat tidak dianggap sebagai keharusan –seperti shalat berjamaah, shadaqah dan semacamnya–bahkan terasa malas untuk mengerjakannya. Pandangan seperti inilah yang sangat keliru, dan perkara ini amat dekat dengan bid’ah. Padahal, perkara yang sifatnya qath’i (jelas dalil dan contohnya) harus didahulukan untuk diamalkan daripada perkara yang tidak langsung dicontohkan oleh Rasulullah saw, atau terakulturasi oleh budaya-budaya tertentu. Namun yang jelas, bentuk ibadah seperti di atas, bukan bermaksud untuk mengubah-ubah syari’at, tetapi sebagai bentuk strategi dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah, dengan catatan tidak menafikkan perkara-perkara yang jelas dalilnya.

Jadi tidak benar apabila shalat ini dianggap sebagai bid’ah dan statusnya haram dikerjakan oleh umat Islam.

Dikutip dari: Berbagai Sumber.

JEJAK SEJARAH YAHUDI DI INDONESIA

Perlu diketahui bersama, bahwa gerakan Zionis Internasional Freemasonry didirikan di Inggris pada tahun 1717. Orang-orang Yahudi lebih suka menyelami bentuk aktivitas mereka dengan selimut perkumpulan theosofi dengan tujuan “kemanusiaan”. Pemimpinnya ialah Nyonya Blavatsky, seorang Yahudi keturunan Rusia, dan berpusat di New York.

Jurnal “The Theosofist” terbitan New York tahun 1881 menyiarkan kabar bahwa Blavatsky mengutus Braon Van Tengnagel untuk mendirikan loge, yaitu tempat peribadatan kaum Vrijmetselarij (Freemasonry) di Pekalongan, Jawa Tengah. Kota ini dipilih karena sejak tahun 1868 berubah status dari desa menjadi kota, disamping dikenal sebagai konsentrasi santri di Jawa Tengah. Loge didirikan pada tahun 1883, tetapi tidak berkembang karena reaksi keras masyarakat yang disebabkan adanya praktik ritualisme mereka, yaitu memanggil arwah. Atas sebab itulah, masyarakat sekitar menyebut bangunan Yahudi tersebut sebagai gedong setan.

Peristiwa di Pekalongan tersebut memaksa mereka mengalihkan kegiatan mereka ke Batavia. Terdapat dua loge besar didirikan di Jalan Merdeka Barat dan Jalan Budi Utomo. Selain dua loge di Batavia, terdapat pula loge-loge di daerah lain, seperti di Surabaya, Yogyakarta, Makasar dan Bandung, yang hanya dikhususkan bagi orang Yahudi dan Eropa yang bekerja di Hindia Belanda dan di sektor Birokrasi Perdagangan Belanda (VOC) saja sebagai pusat kegiatan ritual semata.

Hindia Belanda dianggap sebagai negeri yang aman dalam menjalankan operasi mereka, karena penduduk saat itu menganggap Yahudi Belanda dan Yahudi Eropa sebagai orang Nasrani. Di samping itu, Gubernur Hindia Belanda selalu menjadi pembina Rotary Club.

Aktivitas ritual yang dilakukannya berujung pada kebuntuan (stagnasi), artinya gerakan zionis jalan di tempat. Maka selanjutnya, gerakan zionisme internasional untuk Asia yang berpusat di Adyar, India, pada tanggal 31 Mei 1909 mengutus Ir. A.J.E. Van Bloomenstein ke Jawa.

Untuk mengubah pola pergerakan, pada tanggal 12 November 1912, Bloomenstein berhasil mendirikan Theosofische Vereeniging (TV), yang kemudian mendapatkan pengakuan dan dimuat dalam Staatblaad Nomor 543.

TV bekerja di kalangan intelektual dan calon intelektual bumiputra dan juga berperan dalam membiayai Kongres Pemuda I pada tahun 1926. Kongres itu bahkan digelar di loge Broederkaten di Vrijmetselarijweg. Akibatnya, ormas pemuda memboikot kongres itu. Kemudian sebagai reaksi dari peristiwa pemboikotan tersebut, maka ormas pemudia menggelar Kongres Pemuda II pada tanggal 27-28 Oktober 1928 dan menghasilkan sumpah pemuda.

Aktivitas zionis yang kian menggeliat ini tidak hanya bergerak di kalangan masyarakat saja, namun juga di pemerintahan. Terutama sekali menjelang dan pasca Perang Dunia I, yang sempat menggelisahkan orang-orang Jerman. Terutama terlihat pada perannya tokoh Yahudi Belanda, Snock Hurgronje dalam perang Aceh.

Seperti diketahui, Turki sebagai sekutu Jerman gagal membantu Aceh karena panjangnya garis supply. Kehadiran agen zionis internasional Sneevliet di Jawa yang berhasil mengkader pemuda intelektual Indonesia, maka makin menguatkan tekad Jerman untuk meruntuhkan pemerintah zionis Hindia Belanda.

Hal itu tercium oleh agen Belanda. Tersebarlah isu bahwa H.O.S. Tjokroaminoto (pendiri SI) menerima dana dua juta gulden untuk mengkudeta kompeni. Untuk mengklarifikasi isu tersebut, Agus Salim ditugaskan menguntit Tjokroaminoto. Sayangnya, kewibawaan Tjokroaminoto malah memikat Salim. Dan pada tahun 1918 Salim memotong kawat dari Surabaya, dan mengabarkan bahwa ia masuk SI (Serikat Islam) dan berhenti sebagai agen.

Di bidang bisnis, orang Yahudi di Jakarta menguasai pusat bisnis elite di Pasar Baru, Jalan Juanda dan Jalan Majapahit. Mereka menguasai perdagangan permata, jam tangan, dan kacamata. Pusat hiburan elite di Jakarta juga diramaikan oleh pemusik Yahudi Polandia. Akhirnya, Batavia menjadi salah satu kota zionis yang terpenting di Asia.

Maka dari itu, tidak mengherankan kalau Jepang yang saat itu menjadi sekutu Jerman ketika merebut Polandia dari tangan Belanda, Jepang melakukan kampanye anti-zionis itu. Beberapa tokoh penting Zionis Hindia Belanda, salah satunya ialah Ir. Van Leeweun dikirim ke camp tahanan dan tewas di tempat tersebut. Kesadaran anti-zionis juga merebak di kalangan rakyat biasa. Dr. Ratulangi pada bulan Maret 1943 memimpin rakyat raksasa di lapangan Ikada (sekarang Monas) yang mengutuk zionisme.

Pasca kemerdekaan, usaha untuk menghidupkan kembali gerakan Zionisme masih dilakukan. Pada tanggal 14 Juni 1954, berdirilah Jewish Community in Indonesia yang dipimpin oleh F. Dias Santilhano selaku ketua dan Panitera I. Khazam. Di dalam anggaran dasarnya dinyatakan, perkumpulan itu merupakan kelanjutan dari Vereehiging Voor Joodsche Belangen in Nederlandsch-Indie di Batavia pada tanggal 16 Juli 1927.

Saat ini, pembicaraan tentang gerakan Zionisme masih berlanjut, yaitu berkaitan dengan operasi Zionis internasional di Indonesia, yang sepertinya mempunyai dasar yang kuat, baik dipandang dari segi historis maupun pada data mutakhir. Sebagaimana kesaksian mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang termuat dalam memoarnya dikatakan, “Saya sendiri tidak pernah punya hubungan dengan Israel. Paling-paling saya ingat, saya pernah ke Jalan Tosari memenuhi undangan mata rantai Israel yang ada di Jakarta”.

Dikutip dari: berbagai sumber.

AL-QUR’AN DAN RELEVANSINYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Al-Qur'anul Karim

Kekelaman Ilmu Pengetahuan dan Krisis Moralitas di Masa Lampau

Telah kita akui bahwa abad ke-20 seperti sekarang ini merupakan abad kebangkitan segala bentuk pemikiran. Abad ini juga disebut-sebut sebagai abad pencerahan. Namun pada abad ini pula terjadi banyak sekali pertentangan-pertentangan dalam memandang segala hal, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan agama. Di dalam agama misalnya, berbagai paradigma banyak yang ditentang. Tak sedikit ilmuwan yang ragu terhadap kredibelitas kitab suci mereka, dan mempertanyakan kebenaran yang diungkap dalam agama yang dianutnya. Maka wajar, banyak dari mereka yang tidak percaya dengan kitab suci yang diyakininya sejak lahir.

Bagi yang masih belajar di sekolah dasar atau tingkat menengah, tentu pasti ingat tentang kisah kedua tokoh yang amat terkenal di bidang astronomi. Mereka tak lain adalah bernama Nicholas Copernicus dan Galileo Galilei, yang mereka berdua ialah penemu teori heliosentris yang sangat fenomenal. Berdasarkan penelitiannya, mereka menyimpulkan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta namun mataharilah yang menjadi pusat tata surya. Bahkan Galileo galilei dihukum mati oleh pihak gereja lantaran dia meragukan keputusan gereja yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta.

Semenjak peristiwa itu, maka selanjutnya gereja menginstruksikan bahwa semua ilmuwan yang menentang keputusan gereja akan bernasib sama dengan Galileo Galilei. Akhirnya, mereka yang takut dengan ancaman itu terpaksa membenarkan dogma gereja tersebut. Namun ada juga beberapa ilmuwan yang tetap bersikukuh tidak setuju terhadap dogma yang diyakini gereja itu. Maka dari itu, mereka mencoba untuk membuka forum-forum diskusi dengan pihak gereja bahwa apa yang menjadi dogma selama ini adalah tidak ilmiah sehingga perlu diluruskan dengan argumen-argumen ilmiahnya. Namun sayang, pihak gereja tetap bersikeras mempertahankan dogma tersebut. Inilah yang menyebabkan mereka kecewa berat dan berkesimpulan bahwa gereja telah menghalangi mereka dalam berpikir, sehingga hal ini dinamakan pembodohan intelektualitas. Akibatnya, agama dituding sebagai salah satu penyebab terhambatnya perkembangan ilmu pengetahuan, yang perlahan mereka meninggalkan agama mereka.

Atas perdebatan antara kaum intelektual dengan pihak gereja tersebut, maka orang-orang non muslim yang notabene bukan petinggi agama atau orang yang paham tentang kitab sucinya menyimpulkan, agama tidak mengatur ilmu pengetahuan. Mereka perlahan mengingkari isi kitab suci mereka yang selama ini mereka baca setiap minggu. Statement inilah yang melahirkan paradigma tersendiri dalam sejarah lahirnya ideologi dunia, yakni sekularisme.

Peristiwa berpisahnya ilmu pengetahuan dari agama menyebabkan terlepasnya kontrol agama dalam kehidupan dan perkembangan ilmu pengetahuan di masyarakat. Dunia Amerika dan Eropa dilanda krisis moral hingga sekarang. Pergaulan bebas, hubungan seksual di luar pernikahan, kelahiran bayi yang tidak punya ayah yang jelas, merebaknya kasus narkoba dan aborsi, banyak gadis yang masih umur dibawah 17 tahun dudah nikah dan berumah tangga, dan lain sebagainya menunjukkan betapa parahnya kondisi moral yang mereka alami. Maka jelaslah, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan dilahirkan oleh ajaran agama, namun karena jiwa ilmiah semata. Sejak itulah, moral dan etika tidak terkontrol lantaran tak adanya agama di dalam kehidupannya. Para kaum moralis cemas melihat perkembangan dunia yang tak beraturan tersebut. Kekhawatiran mereka beralasan, jika perkembangan seperti ini terus berlangsung, maka akan membawa suatu peristiwa yang akan menghancurkan dirinya sendiri dan peradaban dunia. Beginilah kegoncangan yang menimpa suatu masyarakat dengan kehidupannya yang sekular.

Pesan-Pesan Al-Qur’an Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Di tengah-tengah kehidupan sekular dan carut-marutnya pergolakan ilmiah dengan doktrinitas agama waktu itu. Islam lahir dan memberikan pencerahan kepada seluruh manusia bahwa paradigma semacam itu sungguh keliru dan harus diluruskan. Perhatikan beberapa ayat berikut:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”. (QS. Ali-Imran: 190-191)

“Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat Makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka Mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS Yaasin: 34-35)

“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya”. (QS. Yaasin: 40)

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)

Beberapa ayat di atas merupakan pesan yang disampaikan oleh Al-Qur’an kepada para pakar saintis dan teknolog ketika menyikapi keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam yang memiliki kesempurnaan di setiap ajarannya sangat terasa keindahannya dan tidak membelenggu akal pikiran para pemeluknya. Justru mereka diajak untuk berpikir lebih mendalam dan kritis. Hanya saja, Al-Qur’an memberikan sebuah warning agar manusia senentiasa bersyukur atas anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya yang berupa akal tersebut. Selain itu juga memberikan batasan agar manusia jangan sampai terjerumus ke dalam ilmu pengetahuan yang sesat, yaitu mendahulukan akal/logika dari pada wahyu.

Dalam masalah hubungan agama dengan ilmu pengetahuan, dapat dilihat dalam sejarah Islam bahwa jazirah Arab yang kondisi geografis dan geologisnya yang sangat ekstrem dan gersang, kondisi sosiologisnya yang melahirkan masyarakat yang berwatak keras dan kejam. Namun disinilah letak kejayaan dan kemajuan peradaban baru yang mampu mengungguli peradaban barat sekular waktu itu. Dialah Nabi Muhammad saw., yang dibangkitkan oleh Allah dengan membawa risalah illahi (Al-Qur’an) untuk mengajak manusia menyembah dan taat kepada Allah. Dalam usahanya membangkitkan ruh imaniyah dan ubuddiyah, Al-Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan akalnya dan berpikir, sebab akal adalah anugerah Allah yang amat berharga dan harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Begitu ayat Al-Qur’an diwahyukan, maka lahirlah konsepsi Islam yang amat fundamental: Iman, ibadah, ilmu dan amal shaleh.

Keilmiahan ayat-ayat Al-Qur’an telah terwujud dengan dibuktikannya kejayaan Islam di masa pertengahan. Umat Islam selama berabad-abad telah memimpin dunia dengan mendirikan pusat-pusat kebudayaan Islam yang cahayanya mampu menerangi penjuru dunia. Sejarah mencatat, tempat-tempat yang pernah menjadi lokasi berjayanya Islam ialah: Cordova, Baghdad, Istanbul, Damaskus, Dranada dan Sevilla. Beberapa kota yang disebutkan ini telah banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia Islam dan teknologi.

Integrasi Agama Terhadap Ilmu Pengetahuan

Ajaran Islam sebenarnya tidak terlepas dari sebuah kebenaran, yang pada hakikatnya ialah sebuah nilai yang senantiasa dicari manusia untuk mendapatkan kualitas hidup yang nyaman, damai, dan sebagainya. Sudah banyak yang dilakukan manusia demi meraih hal tersebut seiring dengan berkembangnya kebudayaan itu sendiri. Mulai dari manusia tidak mampu menciptakan teknologi (primitive) menjadi manusia yang mampu menciptakan teknologi yang amat canggih sekalipun (modern). Kemajuan ilmu pengetahuan yang sedemikian pesat tersebut  tidak terlepas dari peran science sehingga mampu menciptakan teknologi itu sendiri.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mengintegrasilan ilmu-ilmu sains dan kehidupan dengan ilmu-ilmu agama. Sehingga sangat perlu untuk mengidentifikasi kurikulum pendidikan yang memadai bagi terwujudnya manusia yang berkualitas, baik jasmani maupun rohani, intelektual maupun spiritual, kebutuhan materi maupun kebutuhan kerohanian. Sebab, anak didik yang akan memasuki dunia pendidikan adalah bersifat netral. Dapat diibaratkan dengan sebuah air yang masih bening tanpa ada campuran zat lain sedikitpun di dalamnya. Hal ini diperjelas dengan sabda Nabi saw:

“Setiap anak yang lahir di dunia adalah dalam keadaan suci. Hanya saha orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi”. (HR. Bukhari Muslim)

Atas dasar tersebut, sebaiknya nilai-nilai yang terkandung dalam religion yang tentunya mengandung kebenaran yang haq harus dijadikan sebagai titik sentral atau acuan pokok sistem pendidikan yang ada di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah orang yang beragama, khususnya beragama Islam. Agama hingga saat ini masih menjadi kebutuhan asasi manusia meski barat tidak memperdulikannya kerena pola pikir mereka telah menjadi apa yang kita sebut sekular.

Ilmu eksakta telah melahirkan berbagai macam  hard technology, seperti pertanian, kedokteran, teknik dan sebagainya. Kemudian ilmu tersebut menggandeng ilmu-ilmu di bidang sosial (soft sciences) untuk menciptakan teknologi atau pemikiran sejenis di bidang sosial yang disebut sebagai soft technology, seperti ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Kedua bidang ilmu tersebut dalam perjalanannya mencari status kebenarannya, namun seringkali melahirkan paradigma yang berbeda. Hal inilah yang tentunya menyebabkan terjadinya antagonistik (saling bertubrukan) antar nilai kebenaran. Maka dari itu, seberapa tinggi nilai kebenaran yang diproduksi oleh sains, tetap ada batasnya dan kurangnya. Dengan kata lain, kebenaran yang bersifat ilmiah tidak mampu mendapatkan kebenaran 100 persen.

Dengan demikian, selama kita hidup dalam sebuah zaman yang mengalami perkembangan ilmu pengetahuan, maka kita tidak akan pernah mengetahui kebenaran yang pasti sehingga mampu memecahkan berbagai macam persoalan dan problema yang dialami oleh masyarakat demi keberlangsungan hajat hidup manusia. Tingkat kesalahan akan semakin besar manakala kita mengembangkan sebuah ilmu yang membidangi ilmu-ilmu sosial, yang kita sebut soft technology tersebut lantaran sulitnya mencari identifikasi variabel kunci sebuah teori. Bila hal ini kita biarkan berlarut-larut tanpa mau melakukan evaluasi dari sebuah kegagalan, maka akan menimbulkan berbagai macam persoalan sosial yang terjadi di masyarakat sehingga menjadi problem yang amat ruwet di masa depan.

Untuk menjembatani kesenjangan dan keruwetan yang tengah terjadi akibat human error yang ditimbulkan oleh soft technology tersebut, maka perangkat lain yang selama ini sudah ada dalam masyarakat pada umumnya, yakni dikenal dengan istilah agama. Keberadaan dan perannya yang pernah berkiprah di era pertengahan pun perlu dioptimalkan kembali. Karena agama mampu membimbing dan memberikan informasi tentang bagaimana seharusnya manusia berbuat dan menyesuaikan dirinya dengan alam lingkungan dan kehidupan. Adalah Islam, yang dikodifikasikan melalui Al-Qur’an dan Sunnah yang hingga saat ini masih sedikit orang di abad modern seperti sekarang yang memanfaatkannya dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Sementara orang lain, terutama mayoritas kaum muslimin masih mengadopsi nilai-nilai keislaman yang bersifat ‘ubudiyah (ritual) yang ternyata belum berpengaruh sama sekali terhadap perilaku kesehariannya.

Kesalahan pemahaman yang sedemikian itu pasti akan terus berlanjut dan tidak akan berakhir karena hakikat pengembangannya memang berasal dari sebuah premis logika yang salah, yang menimbulkan kesesatan berpikir. Logika semacam itu harus diluruskan dengn dua cara:

  1. Memposisikan sumber wahyu di atas akal dan logika manusia, dan menjadikannya sebagai satu-satunya informasi kebenaran untuk dikaji secara deduktif, khususnya dalam mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi.
  2. Melakukan eksplorasi teori, dalil, aksioma, dan data empiris (induktif) di lapangan terhadap sumber wahyu dan dikaji secara bersamaan dengan ilmu-ilmu sains dalam rangka menemukan kebenaran antara keduanya.

Dengan cara ini, peran agama (Islam) akan semakin terasa sebagai kebutuhan yang begitu menyenangkan yang dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga ber-Islamnya seseorang tidak lagi diakibatkan dari suatu keterpaksaan dalam sebuah dogma semata.

“(Dialah) yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah”. (QS. Al-Mulk: 3-4)

Seperti halnya sains, Islam bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya. Islam dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperbaiki kesalahan –yang dalam konteks ini lebih mengarah pada kesalahan sains– untuk membimbingnya ke jalan yang benar sebagai kebenaran yang bersifat hakiki dan mutlak (absolut). Pengertian absolut disini tentu bukan mengarah pada pengertian dogmatis yang selama ini dipahami oleh mayoritas masyarakat dan kaum intelektual, sebab Islam merupakan agama yang kebenarannya tidak boleh diperdebatkan, apalagi diubah-ubah oleh tangan manusia.

Sistem pendidikan yang sarat dengan perkembangan sains yang dikolerasikan dengan pemahaman agama sudah waktunya dikembangkan dan diperbudayakan. Keberadaan Interdisiplin Sains dalam Islam (Inter-Disipline Sciences in Islam) sangat dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat modern ini sebagai proptotipe kebangkitan peradaban baru yang akan merombak peradaban saat ini yang sudah mengalami kerusakan yang cukup parah. Dengan sistem pendidikan yang baru ini, kurikulum yang dipakai ialah kurikulum yang mampu menyatukan antara nilai-nilai illahiyah (wahyu) dengan sains sebagai jalan menuju tatanan masyarakat yang lebih baik dan beradab.

Dikutip dari: Berbagai Sumber.

MUDZAKARAH IMAN: HARI KIAMAT SUDAH DEKAT

Salah satu prinsip keimanan yang sangat pokok dalam agama Islam adalah beriman kepada hari akhir atau hari kiamat. Iman kepada hari kiamat merupakan salah satu rukun iman yang enam. Hari akhir dan kebangkitan yang diimani oleh kaum muslimin adalah salah satu hal yang yang banyak ditolak oleh kaum kafir, penentang pada Rasul, baik di masa lampau maupun masa kini.

Kaum muslimin sendiri dituntut tidak ragu sedikit pun untuk mempercayainya karena hari kiamat pasti akan tiba dan terjadi. Hari kiamat adalah salah satu perkara ghaib yang telah dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw., dan juga merupakan kesepakatan para sahabat dan ulama serta kaum muslimin. Tidak ada yang meragukannya kecuali kaum kafir, atheis ataupun materialis. Yang menjadi masalah sekarang ialah, kapan kiamat itu akan terjadi? Setiap orang pasti tidak ada satupun yang mengetahuinya kecuali Allah swt. Maka jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan ini ialah sebagaimana jawaban yang diberikan Nabi saw. kepada orang-orang Mekkah, ketika mereka bertanya tentang hari kiamat:

Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh Jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya. (QS Al-Ahzab: 63).

Demikian pula dengan firman Allah yang lain:

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui”. (QS. Al-Ahzab: 187)

Meskipun tidak ada satupun yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah semata, namun Rasulullah saw. sendiri telah menerangkan dalam haditsnya bahwa, “Kiamat tidak akan terjadi selagi di muka bumi masih ada orang yang berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan lafadz Allah, baik di dalam hati maupun lisan”. Oleh karenanya, kita sebagai kaum muslimin tidak perlu khawatir bahwa kiamat akan tiba, karena hanya Allah saja yang tahu perkara ini, asalkan kita senantiasa selalu berbenah diri atas segala tingkah laku yang buruk, membenahi sifat-sifat tercela dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji.

Maka dari itu, marilah kita semua segera bertaubat, memperbaiki kesalahan yang telah dibuat, dan jangan sampai mengingkari nikmat yang sudah diberikan Allah. Karena Allah telah mengingatkan bahwa jika hamba-Nya bersyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan maka Dia akan menambah nikmat-Nya, sebaliknya jika hamba-Nya kufur atas pemberian nikmat tersebut, maka Allah akan menyiksanya dengan adzab yang pedih.

Meskipun hari kiamat adalah perkara gaib dan merupakan rahasia Allah, tetapi Allah dan rasulullah saw. telah memberitahukan tanda-tandanya. Bila dicermati tanda-tanda hari kiamat tersebut, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa hari kiamat sudah amat dekat. Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri di dalam kitabnya Mukhtashar al-Fiqh al-Islami menyebutkan tentang tanda-tanda hari kiamat yang begitu sistematis. Beliau membagi tanda-tanda hari kiamat tersebut menjadi dua bagian, yaitu asyrathus sa’ah as-sughra (tanda-tanda kiamat kecil) dan asyrathus sa’ah al-kubra (tanda-tanda kiamat besar).

Tanda-tanda kiamat kecil oleh beliau dibagi lagi menjadi tiga bagian:

  1. Pertama, tanda-tanda kiamat yang sudah terjadi dan telah berlalu, seperti terbelahnya bulan, wafatnya Rasulullah saw, penaklukan Baitul Maqdis, dan keluarnya api di negeri Nejad.
  2. Kedua, tanda-tanda kiamat yang sedang terjadi dan masih terus berlangsung, seperti tersebarnya fitnah, meluasnya kekacauan dan kemunkaran, banyak bermunculan nabi-nabi palsu, diangkatnya ilmu dan menyebarnya kebodohan, kedzaliman terjadi di sana-sini, merebaknya alat-alat musik, merajalelanya zina dan riba, banyak orang yang suka meminum khamr, orang-orang saling berlomba membuat gedung-gedung tinggi, menghias masjid hanya untuk bermegah-megahan, banyak terjadi pembunuhan, waktu terasa pendek, sering terjadi gempa bumi, banyak wanita berpakaian namun terlihat telanjang, dan lain sebagainya.
  3. Ketiga, tanda-tanda kiamat yang akan terjadi.

Selanjutnya tanda-tanda kiamat besar (kubra) antara lain sebagaimana diterangkan oleh Allah di dalam kitab-Nya dan oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits beliau yang shahih. Di antara tanda-tanda tersebut adalah:

  1. Keluarnya dajjal. Dajjal adalah makhluk semacam manusia keturunan Adam, yang akan muncul di akhir zaman dan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Dia muncul dari arah timur dari negeri Khurasan dan selanjutnya dia akan menjelajahi hampir seluruh tempat di bumi, kecuali Baitul Maqdis, kota Mekkah, kota Madinnah dan bukit Thursina.
  2. Turunnya Nabi Isa AS (al-Masih).
  3. Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, yaitu dua bangsa yang membuat kerusakan di muka bumi.
  4. Munculnya dukhan, yakni asap yang menyelimuti bumi.
  5. Terbitnya matahari dari barat.
  6. Munculnya dabbah, yakni sejenis monster atau binatang melata yang bisa berbicara dan mampu membedakan orang mukmin dengan orang kafir melalui indera penciumannya.

Dari penjelasan tentang tanda-tanda hari kiamat di atas, maka penulis menghimbau kepada diri dan seluruh kaum muslimin dimanapun berada agar senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT di masa-masa sulit seperti sekarang ini. Kerusakan, kemaksiatan, dan fitnah yang sedang mendera, bahkan di mana-mana terjadi krisis, baik krisis multidimensional, ekonomi, pangan dan sebagainya. Namun ingatlah bahwa Allah SWT masih membuka pintu taubat bagi kita, maka sudah menjadi kesempatan bagi kita untuk memperbanyak bertaubat kepada-Nya hingga nafas sampai di tenggorokan kita. Teruslah berusaha mencari rahmat Allah demi kebaikan kaum muslimin di dunia maupun akhirat.

KEISTIMEWAAN DOA DALAM SURAT AL-FATIHAH

Salah satu keistimewaan surat al-Fatihah ialah, surat ini merupakan surat yang wajib dibaca ketika shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Di dalam hadits Rasulullah saw disebutkan: Shalat seseorang tidak sah jika tidak membaca surat Al-Fatihah. Oleh karenanya, surat ini dinamakan sebagai ummul qur’an (induknya Al-Qur’an), dan juga disebut sebagai As-Sab’ul Matsaani yang artinya tujuh ayat yang diulang-ulang (dalam shalat).

Surat Al-Fatihah juga merupakan sebuah bentuk percakapan (dialog) antara seorang hamba dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan, bahwa Rasulullah telah bersabda: Allah swt berfirman:

“Aku membagi shalat (Al-Fatihah) menjadi dua bagian, sebagian untuk-Ku dan sebagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang ia minta. Ketika seorang hamba mengatakan “alhamdulillahi rabbil ‘alamin” (segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam), maka Aku menjawab, “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Ketika seorang hamba mengatakan “Arrahmanir rahim” (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka Aku menjawab, “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Ketika seorang hamba mengatakan “Maaliki yaumid diin” (Yang menguasai hari pembalasan), maka Aku menjawab, “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Ketika seorang hamba mengatakan “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan), maka Aku menjawab, “Ini adalah bagian-Ku dan bagian hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta”. Ketika seorang hamba mengatakan “Ihdinas shiraathal mustaqim. Shiraathal ladziina an’amta alaihim, ghairil maghdhuubi alaihim, wa ladh-dhaalliin” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. [yaitu] jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan [jalannya] orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan pula [jalannya] orang-orang yang tersesat), maka Aku menjawab, “Ini adalah untuk hamba-Ku dan baginya apa yang ia minta”.

Bila kita perhatikan hadits ini, maka dapat ditemukan sebuah ibrah (pelajaran) yang cukup penting, yaitu mengajarkan mengenai tata cara berdoa sekaligus isi doa yang senantiasa dipanjatkan dalam shalat.

Terminologi shalat manakala ditinjau secara etimologi memiliki makna “do’a” sehingga dalam shalat yang kita kerjakan terdapat tempat-tempat yang berisi do’a atau anjuran untuk berdoa, seperti ketika duduk antara dua sujud, ketika sujud atau setelah membaca tasyahud akhir sebelum salam. Salah satu tempat yang di dalamnya terdapat anjuran berdoa ialah di penghujung surat al-Fatihah.

Jika diperhatikan lebih seksama, mulai ayat pertama hingga ayat keempat dari surat al-Fatihah adalah berisi pujian, sanjungan dan pengagungan kepada Allah swt. Kemudian apabila membaca ayat-ayat dari surat al-Fatihah maka Allah akan menjawabnya sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi di atas. Pada ayat kelima (iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in), merupakan hak atau bagian untuk Allah yaitu ketika seorang hamba berikrar bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang patut disembah dan diibadahi, selanjutnya merupakan hak hamba untuk meminta pertolongan yang hanya dipanjatkan kepada Allah semata.

Pelajaran pertama yang dapat diperoleh dari pembahasan ini adalah berkenaan dengan adab berdoa. Seorang hamba memulai doanya dengan lantunan pujian, sanjungan serta pengagungan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Perlu diketahui bahwa salah satu faktor yang akan memperkuat dikabulkannya doa hamba-Nya ialah bila seorang hamba pandai dalam memuji Rabbnya, dan Allah amat cinta kepada hamba-Nya yang melantunkan pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada-Nya.

Setelah mengucapkan pujian dan sanjungan, maka selanjutnya ialah memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Yang dimaksud jalan yang lurus dalam surat Al-Fatihah ini adalah jalannya orang-orang yang oleh Allah dianugerahi nikmat, bukan jalannya orang yang dimurkai maupun jalannya orang yang tersesat di jalan-Nya. Artinya, seorang hamba hendaknya meminta petunjuk kepada Allah agar senantiasa dibimbing kepada jalan yang benar dan diberi kekuatan dan keistiqomahan dalam mengikuti jalan tersebut hingga titik akhir (mati), yaitu jalan Islam.

Ayat permohonan ini merupakan salah satu susunan kata-kata yang bagus dan teratur, yang dalam kaidah ilmu tafsir disebut dengan menafsirkan satu ayat kepada ayat yang lainnya. Dapat diperhatikan pada ayat, “tunjukkan kami jalan yang lurus”. Maka timbul pertanyaan, “jalan yang lurus itu seperti apa?”. Maka pertanyaan ini dijawab pada ayat berikutnya, yaitu  jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Maka akan timbul pertanyaan kembali, “jalannya orang-orang yang diberi nikmat itu jalannya siapa?”. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Allah dalam ayat lainnya, seperti yang disebutkan dalam Surat An-Nisaa’ ayat 69:

Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.

Ayat ini menjelaskan tentang golongan manusia yang telah diberi nikmat oleh Allah, sehingga ketika seseorang sedang mengerjakan shalat, hendaknya memohon kepada Allah agar diberi kemuliaan seperti para nabi, para shiddiiqiin, para syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan para shalihin (orang-orang yang shalih).

Kemudian ayat tersebut menjelaskan bagaimana cara-cara agar seseorang dapat meraih kedudukan atau kemuliaan tersebut, yaitu dengan taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya berupa syari’at. Kedudukan antara Allah dan Rasul dalam rangka mentaati perintahnya adalah sama. Firman Allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 80:

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman dalam surat Al-A’raaf ayat 157:

(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

Selanjutnya, dalam ayat selanjutnya dalam surat al-Fatihah terdapat doa yang dipanjatkan kepada Allah agar dijauhkan dari golongan orang-orang yang mendapat murka dari Allah dan golongan orang-orang yang tersesat. Apabila ada yang bertanya, “siapakah orang-orang yang dimurkai itu?”, maka dijawab bahwa orang-orang tersebut adalah golongan orang-orang Yahudi, yang secara khusus mereka telah dimurkai dan dilaknat oleh Allah sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Maa’idah ayat 60:

Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, Yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi [Yahudi] dan (orang yang) menyembah thaghut?”. mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.

Orang-orang Yahudi menurut Syaikhul Islam adalah tergolong kaum yang hidup dalam kemurkaan Allah karena mereka tidak mengamalkan ilmu yang telah mereka ketahui. Mereka enggan menerima kebenaran yang sudah jelas-jelas ada di depan mata mereka, baik melalui perkataan maupun perbuatan

Adapun yang tergolongan orang-orang yang tersesat adalah orang-orang Nasrani, sebagaimana Firman Allah pula dalam surat Al-Maa’idah ayat 77:

Katakanlah: “Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”.

Penafsiran ini kemudian diperkuat oleh Rasulullah saw. dalam sabda beliau:

“Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi, dan orang-orang yang tersesat adalah orang-orang Nashara” (HR. Turmudzi).

Semoga kita semua senantiasa ditunjukkan kepada jalan yang lurus lagi diridhai oleh-Nya, diberi kekuatan iman dan istiqamah berada di jalan-Nya.